KH. Miftachul Akhyar (Rais Aam PBNU)
Menghadapi tahun politik 2024, saya katakan, mohon, bukan hanya mohon tapi muhun. Muhun itu di atasnya mohon. Pengurus MWC NU, Ranting NU, karena saya setiap datang ke daerah mereka kumpul tanya siapa dan partai apa yang akan kita dukung untuk 2024.
Maka saya katakan tunggu komando dan instruksi PBNU. Jangan buka lapak sendiri-sendiri, jangan buka toko, warung sendiri-sendiri, baik grosir, maupun eceran, di dalam menyongsong datangnya tahun politik.
Bukan berarti kita menghilangkan hak politik, tapi NU adalah organisasi yang sistemik dan tersistem, organisasi yang munadzom, organisasi yang ada sami’na wa atho’na, dan organisasi yang selalu bertabayyun manakala ada berita-berita, terutama berita yang miring, yang tidak baik, dari Ranting, ke MWC, MWC ke PC, PC ke PW, PW ke PB.
Jangan suka menyebarkan berita yang belum jelas (hoax), kalau belum klarifikasi dan bertabayyun, itu pusaka Nahdlatul Ulama. Sekarang kan kalau ada berita miring, jor-joran memviralkan, padahal berita itu belum jelas alias hoax. Inilah kekalahan kita selama ini. Karena mereka, orang-orang lain tahu di mana kelemahan umat Islam.
Sebagaimana kita ketahui, ulama menduduki maqâm yang tinggi sebagai pewaris para nabi (al-ulamâ waratsat-ul anbiyâ’). Tidak ada maqâm di atas para ulama selain maqâm para nabi. Karena itu, sebagai jam’iyyah dîniyah ijtimâ’iyyah yang didirikan oleh para ulama dan menjadikan ulama sebagai pemimpin, teladan dan panutan, sudah sepatutnya kita sebagai pengurus jam’iyah menggali kembali teladan nilai-nilai keulamaan dari para pendahulu, sebagai bekal memantabkan perjalanan abad kedua Nahdlatul Ulama.
Seorang sufi masyhur, Imam Sahl bin Abdullah At-Tustary, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Khathîb al-Baghdâdy, juga pernah memberikan sinyal peringatan:
﴿اَلنَّاسُ كُلُّهُمْ سُكَارَى إِلاَّ الْعُلَمَاءَ، وَالْعُلَمَاءُ كُلُّهُمْ حَيَارَى إِلاَّ مَنْ عَمِلَ بِعِلْمِهِ﴾
(“إقتضاء العلم العمل” للخطيب البغدادي ص 28)
“Semua manusia dalam kondisi mabuk (tidak sadar), kecuali para ulama. Dan para ulama pun semuanya kebingungan, kecuali mereka yang mengamalkan ilmunya.”
Dawuh Imam Abdullah At-Tustary itu senada dengan peringatan dari Imam Al-Ghazaly:
﴿النَّاسُ كُلُّهُمْ هَلْكَى إِلَّا الْعَالِمُوْنَ. وَالْعَالِمُوْنَ كُلُّهُمْ هَلْكَى إِلَّا الْعَامِلُوْنَ. وَالْعَامِلُوْنَ كُلُّهُمْ هَلْكَى إِلَّا الْمُخْلِصُوْنَ. والْمُخْلِصُوْنَ عَلَى خَطَرٍ عَظِيْمٍ﴾
“Semua manusia akan binasa kecuali orang-orang yang berilmu. Orang yang berilmu pun akan binasa kecuali yang mengamalkan ilmunya. Yang mengamalkan ilmunya pun akan binasa kecuali mereka yang ikhlas. Dan mereka yang ikhlas pun masih dalam kekhawatiran yang besar.”
Imam Syafi’i radliyallâhu ‘anhu menggambarkan kriteria seorang alim sebagai orang yang tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum syara’ serta memahami dengan baik kondisi umat atau kaumnya. Sebab, apa yang disyariatkan Allah Subhânahû wa Ta’âlâ merupakan manhaj yang terbaik dan jalan kebenaran yang paling lempeng, sebagaimana firman-Nya:
﴿اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا﴾
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku kepada kalian, dan telah Aku ridlai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Surah Al-Mâidah ayat 3).
Adapun manifestasi pemahaman seorang alim atas kondisi umat dan kaumnya tampak dalam upaya menghindarkan hal-hal yang membahayakan dan merugikan umat, serta kemampuannya dalam mencurahkan pengorbanan dan pertolongan kepada umat.
Tanggung Jawab Ulama
Mengingat tingginya kedudukan ulama, maqâm ulama memiliki konsekuensi dan tanggung jawab yang tidak ringan. Dalam sebuah hadits, Kanjeng Nabi Muhammad Shallallâhu Alayhi wa Sallam bersabda:
قال النبي ﷺ: ﴿أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَاِلمٌ لاَ يَنْفَعُهُ اللهُ بِعِلْمِهِ﴾ (الحديث)
“Manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah seorang alim yang ilmunya tidak diamalkan.”
Sebelum Kanjeng Nabi Muhammad Shallallâhu Alayhi wa Sallam, Nabi Isa Alayhis Salâm telah menggambarkan sosok ulama yang buruk (ulamâ’ sû’) di zaman beliau seperti pohon Difla (tanaman bunga yang beracun). Beliau bersabda:
﴿يَا عُلَمَاءَ السُّوْءِ! جَعَلْتُمْ الدُّنْيَا عَلَى رُؤُوْسِكُمْ، وَاْلآخِرَةَ تَحْتَ أَقْدَامِكُمْ، قَوْلُكُمْ شِفَاءٌ وَعَمَلُكُمْ دَاءٌ، مِثْلُكُمْ كَمَثَلِ شَجَرَةِ الدِّفْلَي –(شجر مُرٌّ أخضر، حسن المنظر، دائم الأزهار، يكثر فى الأودية)– تُعْجِبُ مَنْ رَآهَا، وَتَقْتُلُ مَنْ أَكَلَهَا﴾ (إقتضاء العلم العمل؛ ص 67) .
“Hai Ulama’ Sû’! Engkau jadikan dunia di atas kepalamu, dan akhirat di bawah telapak kakimu. Ucapanmu dianggap obat, tapi perbuatanmu justru menjadi penyakit. Perumpamaan kalian seperti tanaman Difla (bunga yang indah, tapi beracun), yang menakjubkan orang yang melihatnya, tapi membunuh orang yang mencicipinya.
Sahabat Umar bin Khaththâb radliyallâhu ‘anhu juga pernah memberikan peringatan dini terkait dengan keberadaan ulama yang mencintai dunia.
قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه: ﴿إذا رَأيتُمْ العَالِمَ مُحِبًّا للدُّنْيَا فَاتَّهِمُوا عَلَى دِينِكُمْ. فَإنَّ كُلَّ مُحِبٍّ يَخُوضُ فِيْمَا أحَبَّ﴾ المرشد الأمين من إحياء علوم الدين؛ ص 18.
“Jika engkau melihat seorang alim yang mencintai dunia (menjadikan dunia di hati dan telapak tangannya), maka curigailah (ajaran) agama yang kalian ambil darinya. Karena seseorang yang mencintai sesuatu akan tenggelam dalam apa yang dia cintai.”
Di tengah kegersangan hidup manusia modern, keberadaan ulama diharapkan menjadi mata air yang jernih dan menyirami seluruh anak bangsa dan siapapun yang melewati negeri itu. Sebagaimana sabda Kanjeng Nabi Shallallâhu Alayhi wa Sallam:
﴿إنّمَا مَثَلُ الْعَالِمِ كَمَثَلِ يَنْبُوعٍ مِنْ مآءٍ يَسْقِى بَلَدَهُ وَمَنْ مَرَّ بِهِ، و َكَذَا العَالِمُ يَنْتَفِعُ بِهِ أَهْلُ بَلَدِهِ وَمَنْ مَرَّ بِهِ﴾ رِوَايَاتٌ رَوَاهَا الْحَكِيْمُ التّرْمُذِى فِى الأَمْثَال منَ الْكِتَابِ والسنَّةِ.
“Sesungguhnya perumpamaan seorang alim adalah seperti mata air, yang menyirami negeri dan setiap orang yang melewatinya. Demikian juga orang alim, penduduk negeri dan orang yang melewatinya dapat mengambil manfaat dari keberadaannya.”
Di abad kedua Nahdlatul Ulama, kita semua sebagai pengurus jam’iyah memiliki kewajiban untuk menjadi mata air-mata air kecil bagi lingkungan sekitar. Kita harus menyadari tanggung jawab masing-masing, baik tanggung jawab kepada diri sendiri, kepada umat manusia maupun tanggung jawab kepada Allah Subhânahû wa Ta’âlâ.
Ada tiga hal yang mendesak untuk segera kita lakukan secara bersama-sama. Pertama, membangkitkan kesadaran ber-jam’iyah di tengah masyarakat. Kedua, membentuk opini moral yang berwibawa di dalam diri masing-masing anggota dan pengurus. Agar setiap individu merasa bahwa perilaku yang tidak baik, kecil maupun besar, akan mendapatkan balasan. Ketiga, melahirkan kriteria kepemimpinan yang secara singkat terangkum dalam kata “jihâd” dan “ijtihâd”.
Jihâd adalah kemampuan memberikan semangat dan pengetahuan dengan segala upaya untuk mencapai cita-cita terbesar. Yaitu, ketaatan kepada Allah, serta ketundukan dan kepasrahan terhadap perintah agama. Sedangkan ijtihâd adalah kemampuan dari para pemimpin jam’iyah untuk memberikan keputusan yang benar dalam menghadapi masalah-masalah yang baru dan kontekstual. Hal ini membutuhkan kecerdasan, semangat dan kesungguhan serta ilmu yang dibutuhkan.
Semoga Allah Subhânahû wa Ta’âlâ memberikan kekuatan dan maunah-Nya kepada kita semua dalam khidmah jam’iyah tercinta. (*)