Oleh: Mohammad Khoiron
Wakil Sekretris LBM PWNU DKI Jakarta
Kitab al-Munqidz min al-Dhalāl merupakan karya outobiografi intelektual yang ditulis oleh al-Ghazāli tepat beberapa saat sebelum wafat. Kitab ini ditulis berangkat dari pengalamannya sebagai seorang intelektual yang melanglang buana di berbagai dimensi ilmu pengetahuan. Sesuai namanya, al-Munqidz min al-Dhalāl dipersembahkan oleh al-Ghazāli sebagai upaya dalam rangka menyelamatkan orang-orang dari kesesatan.
Pernyataan ini sebenarnya tidak lepas dari latar belakang al-Ghazāli yang sudah purna tugas dari aktivitas intelektual. Di samping itu, latar belakang keragaman madzhab, sekte, dan bahkan agama juga turut serta mewarnai sosio-kultural dan keagamaan Masyarakat waktu itu. Dalam eskalasi sosial keagamaan, ternyata kelompok-kelompok tersebut memiliki perbedaan ideologi yang meruncing pada perbedaan teologi.
Dalam kitab ini, al-Ghazāli memulai dengan membahas pendekatan safsathah untuk menguji kebenaran epistemologi ilmu pengetahuan, atau Madākhil al-Safsathah wa jahd al-Ulūm. Safsathah menurut terminologi adalah Ismun li al-Hikmah al-Muwahhamah atau nama untuk kebijaksanaan yang disamarkan. Menurut etimologis, safsathah adalah Nafyu al-Haqāiq al-Tsābitah bi al-Naqli wa al-Aqli ma’a al-Ilmi bihā bi Qashd al-Tamwīh wa al-Khidā’. Maksudnya, menolak sebuah epistemologi yang sudah mapan berdasarkan teks dan rasionalitas meskipun telah diketahui sebelumnya dengan tujuan untuk memperdaya dan menipu. Melalui pendekatan inilah, al-Ghazāli melakukan riset terhadap beberapa aliran yang berkembang saat itu, seperti terhadap kelompok mutakallimin, bathiniyah, filsuf, dan sufi.
Tujuan al-Ghazāli dalam melakukan riset terhadap beberapa kelompok aliran di atas untuk mencari kebenaran, mengingat masing-masing kelompok mengklaim dirinyalah paling benar. Meskipun begitu, al-Ghazāli tidak menafikan bawa keragaman kelompok aliran dan agama yang ada pada waktu itu merupakan samudera luas yang sangat dalam. Butuh keterampilan khusus untuk menyelaminya demi mendapatkan mutiara yang indah, namun jika tidak memiliki kapasitas itu, maka akan tenggelam dan binasa. Al-Ghazāli menyatakan bahwa ilmu atau pengetahuan yang kuat secara argumentatif adalah ketika mampu mengungkap sesuatu dengan jelas, lugas, tanpa adanya celah untuk ragu, meragukan, dan atau diragukan. Proposisi ini ditegaskan olehnya dengan memberikan contoh bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga, atau bintang lebih besar dari bumi di mana tidak ada keraguan mengenai hal itu berdasarkan asumsi aksiomatis.
Pernyataan al-Ghazāli mengenai ukuran Bintang yang jauh lebih besar dari bumi melampaui pikiran orang zaman itu. Sepuluh abad setelahnya, di mana sains modern berkembang dengan pesat, asumsi al-Ghazāli di atas terbukti dengan ditemukannya ribuan Bintang di Galaksi Bimasakti yang besarnya ribuan atau jutaan kali lipat dari bumi. Secara tidak langsung, bisa saja al-Ghazāli memperdalam disiplin ilmu astronomi lewat pengamatan terhadap Bintang Bintang yang ada di langit, meskipun tidak dituangkan lewat karya tulis. Karena itulah, al-Ghazāli tatkala melakukan riset untuk mencari kebenaran, ia mengawalinya dengan pendekatan al-Mahsūsāt atau panca Indera. Namun, setelah terbukti bahwa al-Mahsūsāt atau panca indera tidak dapat sepenuhnya mengungkap kebenaran sejati, al-Ghazāli berpindah haluan dengan cara mengedepankan rasionalitas.
Lewat pendekatan rasionalitas ini, ia mendalami ilmu kalam atau teologi, logika, filsafat, perbandingan agama, dan berbagai disiplin ilmu lain yang menyokong perkembangan intelektualnya. Kedalaman ilmu al-Ghazāli terhadap teologi atau ilmu kalam misalnya tertuang dalam sikap moderatnya di tengah arus ekstrem pemikiran tatkala itu. Sikap moderat itulah yang mengantarkannya menjadi salah satu penyokong kuat Madzhab Asy’ari lewat relasi kuasa Nizhām al-Mulūk sehingga menjadikannya madzhab resmi negara. Pondasi al-Ghazāli dalam menempatkan sikap moderatnya itu tertuang dalam karyanya yang bernama al-Iqtishād fī al-I’tiqād yang secara harfiah berarti bersikap moderat dalam berakidah. Akan tetapi, bukan al-Ghazāli namanya apabila tidak melakukan kritik terhadap ideologi yang pernah dipelajarinya, seperti misalnya mengkritik konstruksi ilmu kalam lewat karyanya yang bernama Iljām al-Awām ‘an Ilm al-Kalām atau menghalangi Masyarakat awam dari ilmu kalam.
Walaupun belakangan penulis mendapatkan informasi yang mengasumsikan bahwa penolakan al-Ghazāli terhadap ilmu kalam sebagian besar dipengaruhi oleh al-Syāfi’i karena disinyalir bahwa ilmu tersebut sudah terkontaminasi oleh Hellenisme dari Yunani. Di saat Islam sudah merambah masuk ke wilayah Eropa, tentu tabrakan pemikiran ini tidak dapat dihindarkan. Sebagai konsekuensi logis, kolaborasi pemikiran mau tidak mau akan dipertautkan. Di satu sisi, Islam sebagai agama wahyu membutuhkan nalar berpikir kritis untuk mengembangkan ajarannya sehingga menjadi piranti pengetahuan yang utuh. Di sisi lain, sikap kritis yang berdasar rasionalitas perlu dibubuhi dengan spiritualitas agar tetap berada dalam koridor yang semestinya. Tetapi yang menarik di sini adalah al-Ghazāli juga mempelajari logika Aristoteles sebagai tonggak untuk menguatkan argumen rasionalnya untuk mematahkan hujjah para mutakallimin lainnya. Penguasaan al-Ghazāli terhadap logika para filsuf Yunani tergambar dalam karyanya Mi’yār al-Ilm yang berisi silogisme Aristoteles dan memasukkannya dalam konstruk madzhab Asy’ari. Lebih jauh lagi, al-Ghazāli menyatakan bahwa silogisme Aristoteles adalah bagian dari Mawāzīn al-Qur’an atau keseimbangan al-Qur’an itu sendiri.
Sikap al-Ghazāli yang seperti itu menimbulkan ambiguity of interpretation atau ambiguitas interpretasi bagi sarjana pemerhati pemikirannya. Seperti almarhum Cak Nur, menyebut al-Ghazāli, sebagai seorang yang tidak konsisten terhadap ide-ide intelektual yang dikembangkannya. Ia menyebut, ketidak-konsistenan al-Ghazāli terletak pada kehebatannya dalam penguasaan terhadap filsafat, logika, dan ilmu kalam. Namun pada waktu yang berbeda ia juga mengkritik tajam teori-teori yang ada dalam disiplin ilmu tersebut. Bagi penulis, wajar apabila al-Ghazāli melakukan hal itu, mengingat sehebat apapun teori ilmu pengetahuan, selama itu masih dibentuk oleh ide-ide manusia, akan ada celah untuk dikritik. Namun kritikan terhadap suatu teori harus berlandaskan pada epistemologi keilmuan yang mapan, agar menghasilkan rumusan teori baru yang lebih mapan. Dalam hal ini, Al-Ghazāli mempertegas Kembali di dalam al-Munqidz min al-Dhalāl: Inna Radda al-Madzhab Qabla Fahmihī wa al-Itlā’ alā Kinnihī Ramyun fī al-Imāyah. Menolak suatu aliran sebelum memahami esensinya dan menelaah konstruk bangunan teorinya, sama halnya melemparkan diri ke dalam jurang kebutaan.
Kelahiran al-Ghazāli
Abu Hāmid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazāli yang masyhur di kalangan kaum muslimin sering dikenal sebagai al-Gazali, berasal dari kata al-Ghazzāl, merujuk pada pekerjaan ayahnya sebagai pemintal benang wool. Di samping penisbatan tersebut, nama al-Ghazali juga diambil dari kata Ghazālah, sebuah desa kecil di dekat Thūs, wilayah Khurasan di Timur Laut Iran, tempat kelahirannya. Kota Thūs memiliki peran penting sebagai pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam pada masa itu. Meskipun nama al-Ghazali sendiri seringkali dikaitkan dengan pekerjaan ayahnya, namun sejarahwan sepakat bahwa gelar yang digunakan al-Ghazali, diambil dari Ghazālah, merujuk kepada dusun tempat kelahirannya itu.
Al-Ghazāli dilahirkan pada tahun 1058 Masehi atau 450 Hijriah di Ghazālah dekat Thūs, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dahulu kala, wilayah Khurasan merupakan bagian dari Persia dan kemudian dijadikan pusat propaganda oleh pemerintah Abbāsiyah. Daulah Abbāsiyah didirikan di kawasan ini pada abad kedelapan Masehi. Sejak saat itu, wilayah tersebut terus menarik perhatian para pelajar, intelektual muslim, dan penulis, sehingga menghasilkan banyak tokoh penyair terkemuka dalam dunia Islam.
Kota Thūs, yang merupakan kota besar dengan bangunan yang tertata rapi dan pertumbuhan penduduk yang cepat, menunjukkan kemajuan yang lebih pesat bila dibandingkan dengan dua kota lainnya, yaitu Thabaristan dan Nauqan. Kota ini terkenal karena pemandangan indahnya, dengan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini bisa dilihat dari kandungan mineral bumi yang tersimpan di sekitar pegunungan yang melingkupinya. Kota Thūs memiliki peran penting dalam perkembangan sejarah intelektual Islam, dengan melahirkan banyak tokoh sarjana muslim seperti Umar Kayam (w. 1131), seorang penyair dan pujangga terkenal dengan karyanya yang bernama Rubāiyyat.
Selain Umar Kayam, banyak tokoh lain yang lahir di kota ini seperti Abu Yazīd al-Bhusthāmī (w. 877), Husain ibn Manshūr al-Hallāj (w. 922), dan Abu Ali al-Hasan ibn Ishaq (w. 1092) yang dikenal sebagai Nizhām al-Mulk. Nizhâm al-Mulk sendiri merupakan cendikiawan sekaligus Menteri dari Dinasti Saljuk yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan Madzhab Teologi Asy’ariyah. Di bawah otonomi dan wewenang yang diberikan oleh Khalifah Malik Syah kepada Nizhām al-Mulk inilah, Madzhab Asy’ari dijadikan sebagai madzhab teologi resmi negara. Nizhām al-Mulk juga mendirikan sebuah universitas yang diberi nama Madrasah al-Nizhāmiyah, merujuk pada namanya dan menunjuk al-Ghazali sebagai rektor dan pengajar. Bisa dibilang, Nizhām al-Mulk turut mempengaruhi kehidupan al-Ghazāli, baik secara materi maupun ideologis.
Ayah al-Ghazāli, adalah seorang muslim yang taat. Ia mempunyai prinsip hidup yang tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri sebagai pemintal kain wool (al-Ghazzāl). Selain mencari nafkah, ia juga menyisihkan waktu untuk belajar dan berinteraksi secara akrab dengan para ulama. Ia dengan tulus berkhidmat pada mereka dan dengan sukarela memberikan sebagian dari penghasilannya sebagai bentuk simpatinya. Saat mendengarkan nasihat-nasihat berharga dari ulama dan fuqaha, ayah al-Ghazāli merasa tergerak dan penuh harap, sehingga ia berdoa dengan tulus kepada Allah s.w.t. agar dikaruniai seorang anak yang berilmu dan saleh. Doa yang tulus dan sungguh-sungguh dari ayah al-Ghazāli rupanya diterima oleh Allah s.w.t.. Terbukti, pada tahun 1058 M, lahir seorang anak yang diberi nama Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazāli yang kelak menjadi mercusuar keilmuan Islam, sehingga dikenal dengan Hujjatul Islam atau pembela agama Islam dengan argumen yang kuat.
Pengembaraan Intelektual al-Ghazāli
Pengembaraan intelektual al-Ghazāli dimulai dari lingkungan di sekitar desanya, berguru kepada salah satu teman ayahnya. Setelah selesai, ia berangkat ke pusat kota Thūs, dengan memperdalam ilmu fiqih kepada Abu Hamid al-Radzikanī. Selesai menimba ilmu kepadanya, al-Ghazāli menuju ke Jurjān, belajar kepada Abu Nashr al-Ismāilī dan di sinilah al-Ghazāli menulis karya perdananya yang bernama al-Ta’līqāt fī Furū’ al-Madzāhib. Setelah selesai kepada al-Ismāilī, al-Ghazāli berangkat ke Naisaphūr untuk melanjutkan studinya di Madrasah Nizhāmiyah, berguru kepada Abū Ma’ālī al-Juwainī atau yang dikenal dengan Imam al-Haramain. Di bawah bimbingan al-Juwaini, al-Ghazāli mulai menampakkan bakat intelektualnya. Di usia yang masih sangat muda, al-Ghazāli mampu menguasai secara mendalam ilmu-ilmu yang sangat sulit di zamannya.
Jika di bawah bimbingan al-Ismāilī, kira-kira di usianya yang masih 17 tahun, al-Ghazāli mampu menulis karya al-Ta’līqāt fī Furū’ al-Madzāhib, maka di bawah bimbingan al-Juwaini inilah ia mampu menyelesaikan karyanya yang bernama al-Mankhūl fi al-Ushūl di usianya yang masih belia, 20 tahun. Sebuah kitab yang membahas ilmu Ushul Fiqih dari yang rumit menjadi uraian yang mudah untuk dicerna, bahkan oleh kalangan awam sekalipun. Tatkala karya tersebut terbit, al-Juwaini berseloroh kepada al-Ghazali: “Mengapa engkau tidak menerbitkan karyamu ini setelah aku wafat? Engkau telah menguburkanku hidup-hidup dengan karyamu ini”. Menurut pandangan penulis, kata-kata al-Juwaini ini merupakan pujian dan kebanggaan terhadap al-Ghazāli. Intelektulitas al-Ghazāli mampu menyaingi eksistensi gurunya, sehingga dalam satu kesempatan al-Juwaini menabalkan kepadanya gelar al-Bahr al-Mughriq atau lautan yang menenggelamkan.
Gelar yang ditabalkan oleh gurunya itu, membuat al-Ghazāli semakin semangat untuk terus mengembangkan intelektualnya. Di usia yang ke-34 atau beberapa waktu setelah al-Juwaini wafat, al-Ghazāli ditunjuk untuk menggantikan posisi gurunya sebagai rektor dan pengajar di Madrasah Nizhāmiyah. Di institusi inilah al-Ghazāli banyak memberikan kuliah berbagai macam disiplin ilmu, terutama Ilmu Kalam, Ilmu Logika, Ilmu filsafat, dan Ilmu Tasawuf. Di Madrasah Nizhāmiyah ini pula al-Ghazāli mencapai titik kemasyhurannya sebagai seorang intelektual yang mempunyai reputasi keilmuan yang tinggi. Karya-karya besar seperti Maqhāshid al-Falāsifah (maksud para filsuf), Mi’yār al-Ilm (kriteria ilmu, sebuah penjabaran mengenai logika Aristoteles), dan Tahāfut al-Falāsifah (kerancuan para filsuf) lahir di madrasah ini.
Wafatnya al-Ghazāli.
Menurut informasi yang penulis dapatkan, al-Ghazāli menikah sebelum berusia 20 tahun, hanya saja belum ada informasi mengenai nama istrinya. Tetapi menurut informasi yang lain, al-Ghazāli memiliki anak laki-laki, meskipun mungkin tidak ada yang hidup sampai dewasa. Pada 18 Desember 1111 M., al-Ghazāli meninggal dunia pada usia 55 tahun. Wallāhu A’lam bi al-Shawāb.