Fotografi dan Ulama

0

 

Fotografi yang diciptakan di Paris tahun 1830-an itu baru masuk bumi Nusantara tahun 1841 untuk kepentingan penjajah mengabadikan tanah jajahan. Sehingga ulama besar seperti Syekh Nawani Banten, KH Khalil Bangkalan, Syekh Khotib Minangkabau dan Kiai Saleh Darat yang lahir di awal tahun 1800-an tak memiliki peninggalan foto.

Foto-foto yang beredar di ‘pasaran’ yang dibubuhi tulisan dibawahnya ulama tertentu itu ternyata salah. Kiai Soleh Darat, misalnya, foto-foto yang dijual dan tertera di internet adalah foto cucunya. Kikai Soleh adalah ulama yang berpengaruh besar. Guru RA Kartini ini juga guru ulama-ulama besar antara lain KH Mahfudz Termas, Kiai Hasyim Asy’ari dn KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.

Syaikh Khatib Minangkabau juga. Foto yang sering dipasang adalah foto Syekh Sulaiman Arrasuli, pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Sumatera Barat. Foto Syekhona Kholil Bangkalan juga sering disematkan untuknya foto seorang habib di Bondowoso atau seorang ulama yang bernama sama tapi berasal dari daerah yang berbeda dan tercatat sebagai murid Syekhona. Sebuah media yang mencantumkan foto Syekhona secara salah diprotes murid dan keluarga Syekhona.

Pada haul ke 92 Kiai Muhammad Shiddiq 21 Desember lalu di Jember juga dijelaskan bahwa tak ada foto beliau. KH Firjon Barlaman, cucu Kiai Shiddiq dan Pureta Rais Am PBNU KH Ahmad Siddiq mengaku hingga sekarang tak bisa menerka seperti apa wajah Kiai Shiddiq. “Pernah ada foto bareng, ternyata gambar Kiai Shidiq tidak ada. Padahal yang lain ada,” katanya. Foto dalam paspor beliau juga tiba-tiba kabur dan lenyap gambarnya.

Salah satu kemugkinan yang tak terelakkan dan keharusan melampirkan foto diri adalah paspor ketika siapa pun termasuk ulama hendak meninggalkan Indonwaia termasuk ibadah haji. Tapi, paspor yang mencantumkan foto diri baru ada setelah tahun 1920. Bisa dipastikan ulama yang berhaji sebelum tahun itu tak memiliki foto diri di paspornya.

Baca Juga :  Antara Pasuruan dan Bagdad

Kiai Soleh Darat yang wafat tahun 1903 tak akan memiliki foto apalagi beliau ke Arab Saudi tahun 1830 diajak ayahnya setelah kekalahan Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Syekhona wafat tahun 1925 yang mungkin berhaji jauh sebelum tahun 1920. Kiai Siddiq yang wafat tahun 1934 masih mungkin berhaji tahun 1920 yang kemudian foto itu menghilang sendiri.

Tahun 1920 ke atas mulai banyak foto studio dan banyak pula orang kaya Indonesia mampu membeli alat fotografi pertabel merek Kodak yang mulai dipasarkan tahun-tahun itu. Bahkan majalah Berita NU (milik PBNU) tahun 1930-an mengiklankan kamera dan mencantumkan harganya.

Karena itu ulama-ulama yang menonjol tahun 1920 ke atas memiliki dokumentasi foto yang cukup banyak. Misalnya, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan KHA Wahab Hasbullah.

Tiadanya foto itu karena beberapa hal. Pertama, belum ada alat perekam fotografi pada saat itu atau belum sempat tersentuh. Kedua, karena tidak suka difoto sehingga menyisakan foto ditinggalkan seperti Kiai Shiddiq Jember. Ketiga ada foto namun yang bersangkutan atau keluarganya tidak ingin mempublikasikan karena berbagai alasan, antara lain takut dikomersilkan. Menurut sebuah suber, Syekhona Kholil ada foto namun tak ingin diseba

rkan. (MH)

Leave A Reply

Your email address will not be published.