Zuhud: Memposisikan Dunia dan Akhirat Secara Proporsional

Dalam kajian Kitab Syarah al-Hikam pertemuan yang ke 73 kali ini, kita akan membaca sebuah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud: “Kami memperhatikan segala bentuk amal perbuatan, namun kami menyadari bahwa tidak ada yang lebih penting dalam urusan akhirat kecuali meninggalkan sikap tamak terhadap dunia. Mempertegas riwayat ini, Syaikh Abu Sulaiman al-Darani bertanya kepada Syaikh Ma’ruf al-Karkhi, seorang ulama yang terkenal zuhud, sehingga mempunyai kemampuan intuisi yang sangat tajam, lantaran doanya sering dikabulkan oleh Allah SWT. 

Pertanyaan itu sebagai berikut: “Mengapa manusia senantiasa berada dalam ketaatan di waktu bulan Ramadhan, meskipun mereka dalam kondisi sangat lapar dan mengantuk, bahkan kondisi seperti itu malah semakin membuat mereka bersemangat?” Ma’ruf al-Karkhi menjawab: “Hal itu terjadi karena mereka membuang jauh-jauh sikap tamak dan terlalu cinta dunia dari hati mereka. Dunia seharusnya berada dalam genggaman tangan, bukan dipendam di dalam hati. Apabila hati masih terpaut pada urusan dunia sekecil apapun, maka ibadah yang dilakukan oleh seseorang tidak akan bermakan sama sekali”.

Hal senada juga bisa dilihat dari dialog antara Syaikh Abu Abdillah al-Qurasyi dan salah seorang muridnya. Sang murid mengeluhkan bahwa ia mendapati banyak orang yang melakukan ibadah dan kebaikan, namun mereka tidak merasakan rasa manis dari amal perbuatan itu dalam hati mereka. Abdullah al-Qurasyi menegaskan bahwa hal itu disebabkan oleh keberadaan “anak perempuan iblis” di dalam hati mereka. Al-Qurasyi mempersonifikasikan “anak perempuan iblis” sebagai sikap tamak dan kecenderungan cinta dunia yang melekat di dalam hati manusia, karena itu menjadi candu sehingga menyebabkan lalai mengingat Allah SWT.

Meskipun demikian, yang perlu ditekankan disini adalah porsi kecenderungan terhadap dunia tersebut, mengingat manusia hidup di dunia ini tidak bisa menghindar darinya. Maka, seseorang harus memperbaiki niatnya untuk persiapan hidup di akhirat. Ibarat kata, hidup di dunia ini bagi kita manusia muslim yang mukmin seperti menanam, sedangkan akhirat akan menuai apa yang kita tanam selama di dunia.

Tanda-tanda bahwa kita benar-benar ditunjuk ole Allah SWT. Sebagai wakil-Nya di muka bumi, terlihat pada bulan ini. Kita memasuki bulan yang paling mulia, bulan di mana pahala ditawarkan secara besar-besaran, tidurnya seseorang di bulan ini dianggap sebagai ibadah, sedangkan bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah SWT. Lebih harum dari minyak kasturi.

Bulan yang dimaksud adalah Ramadhan, di mana kita tidak akan menemui keistimewaan-keistimewaan serupa di bulan-bulan, selain Ramadhan. Orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, Allah SWT. sendiri yang akan membalasnya, sebagaimana ditegaskan dalam Hadits Qudsi: Al-Shaumu lī wa Ana Ajzī Bihī (puasa itu milik-Ku dan Aku sendiri yang akan memberikan pahala).

Puasa merupakan bulan penghematan dan pengaturan, termasuk mengendalikan pengeluaran yang biasanya berlebihan di luar Ramadhan karena tergoda untuk membeli makanan berlebihan. Meskipun kebiasaan ini tidak dilarang, namun selama bulan Ramadhan, kita diminta untuk menahan diri dari Subuh hingga Maghrib, sebagai bentuk penghematan. Itulah sebabnya puasa dianggap sebagai penghematan.

Bahkan, saat berbuka puasa pun kita harus menahan diri dan tidak membalas dendam dengan makan berlebihan. Biasanya di luar puasa, kita bisa menikmati makanan apapun, tetapi saat berbuka puasa, kita sebaiknya menahan diri. Hal ini menunjukkan kemampuan untuk mengendalikan diri. Namun, mengapa hal ini sering kali terbalik? Di luar puasa, kita makan dengan porsi biasa, tetapi saat berbuka puasa, meja makan dipenuhi dengan makanan berlebihan.

Puasa semacam ini tidak memberikan makna yang signifikan, karena tidak ada penghematan yang dilakukan, bahkan pengeluaran menjadi berlipat-lipat. Sebenarnya, sifat kemanusiaan ada dalam puasa, seperti menahan diri, sabar, tidak membalas ketika disakiti, dan mendoakan yang baik bagi orang lain. Saat merasakan lapar dan haus, kita dapat merasakan persamaan dan rasa kasih sayang terhadap sesama.

Ada orang yang mungkin tidak makan dan minum sama sekali, lebih parah dari kita yang hanya merasakan lapar dan haus dari subuh hingga maghrib. Dari sini, timbul kesadaran akan persamaan yang diperkuat dengan pembayaran zakat fitrah atau zakat-zakat lainnya. Konsekuensinya adalah tidak ada lagi pemisah antara yang kaya dan yang miskin, bahkan keduanya menganggap satu dengan yang lainnya sebagai saudara.

Jika kita mampu menerapkan hal ini dengan baik, puasa akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Oleh karena itu, marilah kita anggap puasa kali ini sebagai yang terakhir bagi kita. Artinya, kita harus mengisi puasa ini dengan spirit menggalakkan amal dan perbuatan yang baik. Islam mengajarkan kita untuk selalu mengingat mati dalam setiap tindakan, agar kita tidak menunda-nunda amal kebaikan.

Kita dapat mencapai tingkat ini jika kita bisa hidup sederhana dan tidak terikat pada dunia secara berlebihan. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam bahwa cinta berlebih pada dunia dapat membahayakan amal perbuatan karena lupa akan akhirat. Namun, urusan dunia dan akhirat tetap penting dalam hidup kita. Dunia adalah tempat kita bekerja dan beraktivitas, sementara akhirat adalah tempat kita memanen pahala. Janganlah kita menggunakan hidup di dunia hanya untuk kepentingan duniawi semata, karena itu bukan tujuan utama. Oleh karena itu, tidak perlu terlalu serius dalam urusan dunia, yang perlu kita seriuskan adalah persiapan untuk akhirat.

Seseorang yang ingin mencapai akhirat akan mempersiapkan bekal untuk perjalanan tersebut, karena tidak mungkin melakukan perjalanan tanpa tujuan yang jelas. Jika kita tidak memiliki tujuan di akhirat, kita akan terombang-ambing, hingga akhirnya terlempar ke neraka. Dengan hidup sederhana (zuhud), seseorang dapat menilai seluruh aktivitas, baik yang diperintah maupun yang dilarang, sehingga tidak tergoda oleh godaan yang bisa merusak nilai-nilai ibadahnya.

Orang yang tidak bisa khusyu’ dalam ibadah, biasanya disebabkan oleh terlalu banyak urusan dunia yang menjadi beban pikirannya. Namun, bagi mereka yang tidak mempunyai banyak urusan dunia, dapat mencapai kekhusyuan, lantaran pikiran tidak terganggu oleh anasir-anasir lain. Namun demikian, manusia yang lebih baik adalah mereka yang memiliki banyak urusan dunia tetapi hatinya tetap khusyu’ kepada Allah. Mereka tidak terpengaruh oleh dunia yang mereka miliki, karena baginya, dunia hanya ada di tangan, bukan berada dalam hati.

Sekali lagi, ketika kita memusatkan perhatian pada akhirat, bukan berarti mengabaikan kehidupan dunia sama sekali. Suatu ketika, ada seseorang yang datang kepada Rasulullah SAW. seraya mengadukan: “Wahai Rasulullah, mengapa saya tidak pernah merasa khusyu’ saat melaksanakan shalat?” Rasulullah bertanya balik padanya: “Apakah engkau memiliki harta?” Orang tersebut menjawab: “Iya, wahai Rasulullah”. Beliau menjawab: “Sedekahkanlah harta itu, niscaya engkau akan merasakan khusyu’, karena yang membuat engkau tidak khusyu’ karena terlalu terpaku pada harta dan kehidupan duniawi”.

Jawaban Rasulullah inilah yang kemudian menjadi landasan bagi jawaban yang diberikan oleh para ulama terkait seseorang yang tidak merasakan kelezatan dalam ibadah, seperti yang telah disebutkan di atas. Dalam konteks tasawuf, siapa pun yang masih menyimpan sedikit kecenderungan dunia di dalam hatinya, maka ibadahnya tidak bernilai apapun di sisi Allah SWT. Marilah kita melakukan perenungan, dari puluhan tahun ibadah yang telah kita jalani, apakah kita telah merasakan manisnya ibadah? Apakah terjadi perubahan dalam diri kita setelah melaksanakan ibadah tersebut? Jika tidak, maka hal ini harus dipertanyakan, mengapa tidak terjadi perubahan?

Alkisah dahulu kala, ada seseorang yang ingin menghajar iblis dan setan karena banyaknya orang yang terjerumus ke neraka karena tipu dayanya. Kemudian dia berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan untuk melihat keduanya. Allah memperingatkannya bahwa dia tidak akan sanggup mengalahkan iblis dan setan. Namun, orang itu tetap memohon kepada-Nya. Mendengar permohonan orang itu, akhirnya Allah mengabulkan doanya. Akhirnya dia bisa melihat iblis dan bertemu dengannya. Ketika bertemu, dia menantang untuk bertarung.

Namun, iblis menanggapinya: “Tunggu, tuan, saya tidak sanggup bertarung denganmu, karena menurut catatan, usiamu masih panjang”. Mendengar ucapan iblis itu, orang tersebut mulai tergoda, ia merasa bahwa usianya masih panjang. Dia berpikir dalam hatinya bahwa dia masih memiliki waktu untuk menikmati hidup dengan melakukan dosa. Nanti, ketika ajalnya sudah dekat, dia akan bertaubat. Lelaki itu tertipu oleh ucapan iblis, meskipun sebenarnya dia akan menghadapi kematian dalam waktu kurang lebih tujuh hari setelah bertemu dengannya.

Walhasil, dia terjerumus dalam kubangankemaksiatan, hingga akhirnya dia meninggal dalam Su’ul Khatimah. Karena itu, al-Qur’an menegaskan pentingnya meminta perlindungan kepada Allah saat menghadapi setan dan iblis dengan banyak berdoa: “A’ūdzu Billāhi Minas Syaithānir Rajīm”, agar kita senantiasa terlidnung dari godaan syaitan yang terkutuk. Wallahu A’lam Bis Shawab.

 

(Ngaji Syarah Al-Hikam bersama Rais AaM PBNU KH. Miftachul Ak

hyar Pertemuan ke-73)

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.