Risalah NU Edisi 65

Rp15,000.00

Description

“SENI SANTRI”

Risalah edisi 65 ini dalam laporan utamnya kami menyajikan soal seni milik santri asli. Mengapa?, selama ini karya milik santri tidak terpublikai dengan baik, karenanya banyak kalangan santri yang memiliki potensi besar terhadap seni akan tetapi tidak kentara sehingga terkesan santri tidak berseni. Padahal segudang prestasi dan keahlian seni santri patut di banggakan. Trus seperti apa seni santri itu?…

Pada awal September 2016 baru lalu, kabar gembira muncul. Film karya sutradara Usmar Ismail yang telah berusia 60 tahun diputar lagi di sejumah bioskop. Film tua yang sudah banyak mengalami banyak kerusakan itu telah dilakukan restorasi sehingga bisa disaksikan seperti baru meski masih dengan warna tetap hitam putih. Film Tiga Dara yang disutradarai dan diproduksi oleh Usmar Ismail untuk Perusahaan Film Nasional (lebih dikenal sebagai Perfini) adalah master piece film nasional yang berhasil memperoleh penonton terbanyak di zamannya. Film ini pernah diikutisertakan dalam Festival Film Venesia tahun 1959.

Naskahnya ditulis M. Alwi Dahlan, menteri penerangan ke 24 (di era Soeharto) yang konon terinspirasi film Holywood Three Smart Girls buatan tahun 1936. Film ini menjadi film kedua Usmar yang secara khusus direstorasi setelah film Lewat Jam Malam (1954) tayang di bioskop tahun lalu. Beredarnya kembali film Tiga Dara tentu mengembalikan ingatan kita kepada H. Usmar Ismail, sang sutradara dan sekaligus produser. Usmar adalah maha guru perfilman Indonesia yang juga dikenal sebagai tokoh Nahdlatul Ulama. NU memiliki tiga serangkai seniman (yang secara kebetulan semua berasal dari Sumatera Barat) yang menonjol di zamannya: Usmar Ismail, Djamaluddin Malik dan Asrul Sani. Dua orang, Asrul dan Usmar aktif di Lesbumi, sementara Djamaluddin aktif sebagai salah satu ketua PBNU sejak NU menjadi partai politik.

Djamaluddin dan Asrul kemudian menjabat sebagai anggota DPR dari NU. Sementara Usmar lebih banyak menekuni dunia perfilman. Hal ini menunjukkan bahwa para ulama kita dahulu tidak alergi dengan kesenian. Tercatat tidak hanya tiga serangkai saja yang mewakili para seniman NU. Masih ada Soekarno M Noer (ayah Rano Karno), Misbah Yusa Biran (suami Mike Widjaya), dan banyak seniman lainnya yang bergabung dalam Lesbumi. Dalam Program Perjuangan NU, hasil Muktamar Nu ke-17 di Palembang tahun 1954, menyatakan: “Menghargai dan membantu kehidupan kebudayaan yang nyata dalam tiap-tiap golongan rakyat serta turut bergiat mengusahakannya selama kebudayaan itu tidak merusak kerohanian masyarakat umum.” Perfilman mewakili kesenian kalangan atas sehingga sangat berpengaruh menaikkan pada citra NU kala itu yang dianggap puritan.

Lesbumi di tingkat pusat mungkin banyak kalangan artis termasuk juga penyanyi yang menjadi anggotanya. Bebeda di daerah, anggota dan aktifis Lesbumi terdiri dari seniman-seniman lokal yang jarang terkait dengan dunia film. Mereka adalah seniman santri.

Selain itu, dalam rubrik lainnya, redaksi juga telah membahas masalah memilih pemimpin non muslim, seperti dalam redaksi Tafsir yang di tulis KH Mustaain Syafii mundzir Ponpes Tebu Ireng. Begitu juga dengan redakis ziarah menyajikan tentang Negara Singapura yang tetap melestarikan tradisi dan peninggalan bersejarah kaum muslimin, termasuk makam keramat Habib Noh Alhabsyi yang berusia seabad terpelihara dengan baik. Penting pula di baca rubrik lainnya.

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Risalah NU Edisi 65”

Your email address will not be published. Required fields are marked *