Ia memperkenalkan namanya ringkas, Abu Abdillah. Ia nimbrung dalam jemaah di masjid jami’ kota Basrah. Ia sangat sederhana. Bajunya tak berlapis, kumuh. Tapi, kedatangannya justru menjadikan majelis hidup. Ia pandai bicara dan banyak pengetahuan agamanya. Setiap ia datang pada acap Jumat itu suasana menjadi semarak. Karena itu ia dirindukan.
“Tuan tinggal di mana?” tanya mereka.
“Saya di Harbiyah,” jawabnya. Harbiyah sekitar enam mil dari Basrah arah utara.
Ia pandai menghidupkan suasana. Cara menghormati orang yang lebih tua dan lebih alim terlihat bahwa ia bukan laki-laki biasa. Semua yang ada merasa suka dan tertarik apalagi ia seorang yang banyak tahu terutama dalam membahas hukum.
Setelah beberapa kali berkumpul, tiba-tiba Abu Abdillah tak muncul. Sekali dua kali dikira uzur biasa. Tapi, setelah sekitar tiga bulan tak muncul, jemaah mulai merasa kehilangan. Mereka ingin tahu kondisi Abu Abdilah.
Ibrahim bin Sabbab berinisiatif untuk mendatangi desanya. Beberapa orang mangacungkan tangan bergabung ke Harbiyah. Maka, hari Sabtu, sekitar tujuh unta dan tiga kuda beriringan menuju utara.
Karena mereka datang ramai-ramai, tidak enak bertanya tentang Abu Abdillah kepada penduduk di sana. Tapi, dilihatnya ada beberapa anak kecil yang tengah pulang dari masjid.
“Kalian kenal Abu Abdillah?” tanya Ibrahim.
Anak-anak itu menoba menebak. “Barangkali yang Tuan maksud adalah Abu Abdillah Ash-Shayyad (pemburu)?”
“Ya, benar,” jawab Ibrahim yang sebenarnya tak tahu persis profesi Abu Abdillah.
“Dia akan lewat jalan ini sebelum waktu Lohor,” kata anak-anak itu.
Ibrahim dan rombongan menunggu di bawah pohon. Tidak lama kemudian, Abu Abdillah datang dengan mengenakan baju yang sudah usang, lusuh dan banyak bagian robek dan bertambal. Dia datang sambil membawa beberapa ekor burung yang sudah mati dan beberapa ekor burung yang masih hidup.
Ia kaget melihat rombongan Basrah, teman diskusinya itu. “Apa gerangan yang membawa kalian datang ke sini?” tanyanya sambil memperilahkan ke rumahnya. Rumah itu seperti kandang kambing. Hanya ada atap dan dinding kayu seadanya.
“Kami merasa kehilangan Tuan. Sebab, Tuan telah membuat majelis kami semarak, tapi kemudian Tuan menghilang. Kenapa?” tanya Ibrahim dan lainnya.
“Saya akan berkata jujur dan menyampaikan apa adanya kepada kalian semua. Begini, saya punya seorang tetangga yang setiap hari saya pinjam darinya sebuah pakaian yang saya pakai ke majelis kalian. Dia pendatang. Saat ini, dia kembali ke kampung halamannya, saya tidak bisa lagi meminjam baju untuk saya pakai ke majelis. Mari makan dari rezeki dari Allah,” kata Abu Abdillah.
Dia membentangkan tikar dan mempersilakan kami duduk. Dia masuk menemui istrinya dan menyerahkan beberapa ekor burung yang teleh disembelih itu kepadanya. Sementara burung-burung yang masih hidup tetap dia bawa ke pasar, dijual dan hasilnya untuk beli roti.
Lalu, dia pun menghidangkan makanan itu kepada tamunya. Ibrahim kemudian berbisik kepada yang lain. “Kalian lihat! Kalian harus membantunya dan mengubah keadaan hidupnya. Bukankah kalian orang-orang terpandang di Basrah?!”
Lalu, satu persatu dari kami mulai menyampaikan kesanggupan menyumbang hingga mencapai 5.000 dirham. Angka yang cukup untuk membeli rumah dan hidup layak. Mereka berjanji akan datang lagi menyerahkan uang itu tanpa sepengetahuan Abu Abdillah.
Mereka pulang. Pada saat sampai di istal gubernur, Ibrahim melihat Muhammad bin Sulaiman, gubernur Bashrah, sedang duduk. Gubernur memanggilnya. Ibrahim menemui Muhammad bin Sulaiman. Ibrahim bercerita apa adanya.
Tak dinyana. “Kalau begitu, saya akan mendahului kalian dalam memberikan bantuan kepada orang itu,” kata Gubernur Bin Sulaiman. Dia menyuruh pembantunya untuk mengambilkan sekantong uang dirham. Setelah itu, dia memanggil salah seorang pelayan, “Pergilah engkau bersama orang ini, lalu serahkan uang ini kepada orang yang dia maksud.”
Ibrahim gembira. Ia bergegas pamit pergi ke rumah Abu Abdillah. Sesampainya di depan pintu rumah Abu Abdillah, Ibrahim langsung mengucapkan salam dan terdengar suara Abu Abdillah menjawab salam dari dalam rumah.
Anti Dunia
“Pada saat ia melihat petugas gubernuran datang sambil membawa sekantong uang, wajah Abu Abdillah langsung berubah, seakan-akan saya telah menaburkan kotoran ke wajahnya,’ kata Ibrahim. “Dia melihat saya dengan raut muka yang berbeda dari sebelumnya.”
“Ada apa ini? Apakah engkau ingin mendatangkan fitnah atas saya?” kata Abu Abdillah.
“Sabar, duduklah dan dengarkan dulu penjelasan saya,” kata Ibrahim.
Ibrahim menceritakan kejadian yang sebenarnya. “Kamu tahu, dia gubenur yang lalim. Seandainya dia menyuruh saya untuk menyerahkan uang ini kepada siapa pun, saya akan melapor telah melakukannya. Jadi, tolong, mengertilah.”
Tapi, dia justru semakin marah, berdiri dan masuk ke dalam rumah dan langsung menutup pintu. Ibrahim kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa karena gagal menyampaikan hadiah gubernur. Akhirnya, tidak ada jalan lain selain berterus terang.
Setelah mendapat laporan Ibrahim, Muhammad bin Sulaiman marah. “Sungguh, dia orang Khawarij Haruri,” katanya. Khawarij Haruri adalah faham yang dianggap sesat dan musuh negara.
Lalu, dia menyuruh pelayan untuk mengambil pedang. “Pergilah engkau bersama Tuan ini ke rumah orang itu. Seret dia keluar dan penggallah kepalanya, bawa kemari kepalanya.”
“Semoga Allah memberi kebaikan kepadamu Amir. Demi Allah dia bukan orang Khawarij. Saya akan pergi ke rumahnya dan membawa dia menghadap Tuan Gubernur,” kata Ibrahim merayu. Hal itu dia lakukan hanya ingin menyelamatkan Abu Abdillah. Gubernur setuju dan meminta Ibrahim benar-benar membawa Abu Abdillah ke istananya. “Engkau penjaminnya,” kata Gubernur.
Lantas, Ibrahim pergi ke rumah Abu Abdillah saat itu juga. Sesampainya di depan pintu rumah, Ibrahim mengucapkan salam. Istri Abu Abdillah datang sambil menangis. Ia membukakan pintu, menyembunyikan dirinya, dan mempersilakan Ibrahim masuk.
“Apa urusan kalian?” tanya istri Abu Abdillah.
“Memang, apa yang telah terjadi dengan dirinya?” tanya Ibrahim balik.
Sang isteri bercerita. “Dia sudah tiada. Tadi, Abu Abdillah bersuci kemudian shalat. Saya mendengar dia berdoa, “Ya Allah, ambillah nyawa saya dan janganlah Engkau menimpakan fitnah terhadap diri ini.” Kemudian dia membentangkan badannya sambil mengucapkan doa tadi. Lalu, saya datang mendekatinya, ternyata dia sudah meninggal,” katanya, menjelaskan.
“Masya Allah, sungguh kami memiliki sebuah cerita yang luar biasa. Tolong, engkau jangan melakukan apa pun terlebih dahulu terhadap jenazahnya,” kata Ibrahim.
Ibrahim bergegas pergi menemui gubernur Basrah Muhamad bin Sulaiman bin Ali Al-Hasyimi dan menceritakan apa yang terjadi.
Sungguh di luar dugaan. “Saya akan pergi untuk menshalati jenazahnya,” kata gubernur yang wafat tahun 173 H. Berita pun menyebar cepat meluas. Masyarakat datang berbondong-bondong mensalati dan menghadiri pemakaman orang yang tak suka disibukkan dunia itu.
Diangkat bebas dari kisah ke 501 dari kitab ‘Uyunul Hikayah karya Imam Jamaluddin Abu Faraj Ibnu Jauzi, terbitan Darul Kutubil Islamiyah, Beirut, Libanon (versi digital), hal 428-430, tahun 2019. (Musthafa Helmy)