Langkah itu kian jauh. Lambaian tangan menjelma sayup dalam dekapan udara hangat Madinah. Menyatu erat bersama “dadah-dadah” ahli Badr dan ahli Uhud. Pusara Nabi kini berjarak dalam ruang dan waktu.
Tapi bekas kaki, membekas dan menetap di dalam hati. Bergabung dalam kafilah panjang tiada ujung. Arus kafilah pecinta Nabi yang mulia. Nabi Allah Al Musthafa. Nabi yang ajarannya tentang cinta melahirkan banyak kredo seperti Barzanji, Diba’, Simtudduror yang abadi.
Dengan suara lembut, Nabi membalas lambaian jemaah haji; para pemburu syafa’atnya, “Kita akan selalu bersama, Cinta!” seru Nabi. Kalimat bernuansa d’amour ini tafsir cinta dari sabda Nabi, “Anta ma’a man ahbabta–Engkau akan bersama dengan orang yang kaucinta.”
Inilah hadits tentang cinta antara Rasul dengan umatnya. Salah satu etos besar yang tidak akan pernah memudar hingga bumi digulung. Dan semakin menjadi kuat saat tiupan sangkakala mengakhiri kehidupan. Cinta kian menjadi.
Hingga saatnya tiba; bergabung secara badani dengan Rasulullah di haudh–telaga Kautsar, di Raudahnya, di akhirat kelak. Raudah yang baru saja mereka tinggalkan di Bumi Madinah, kota nan bercahaya-al Munawwarah.
Ada janji Allah bagi mereka yang mencinta Nabi. Yaitu digabungkan bersamanya, secara ruhani di dunia dan secara hakiki di akhirat. Adakah kenikmatan yang didapat seseorang jika digabungkan bersama yang dia cinta? Ada… lah!!!
Jika seseorang selalu bersama, terus bergabung dan tidak berpisah dengan orang yang dicinta, dengan mudah ia akan menyerap kebiasaan dan sifat yang dicinta. Cintai Arsenal FC, misalnya, maka ia akan mengenal klub ini, sejarah hingga nama para pemain.
Ia akan suka cita bangun dini hari, saat yang lain tidur nyenyak. Ia bangga mengenakan kostum klub dan suka clubbing dengan “the gooners”. Ia senang jika klub menang dan susah jika kalah. Arsenal akan membuat dia sangat emosional. Menang atau kalah.
Sofwan bin Qudamah, begitu menjejak tanah Madinah saat hijrah, ia bersegera menemui Nabi. “Oh Nabiyallah. Berikan tanganmu. Mohon izin aku mau berbaiat kepadamu.” Dengan senang hati Nabi mengulurkan tangannya dan bersabda. “Orang akan bersama dengan orang yang dicintai.” Dan Sofwan menangis gembira.
Jika kita tidak berpisah secara lahir dan terutama secara ruhaniyah dengan orang yang kita cintai, maka prilaku kita–pikiran, perasaan dan tindakan, akan selalu dipengaruhi dia yang kita cintai.
Cintailah Nabi, maka hati kita akan merasa bahagia jika berkumpul dengan para pecinta Nabiyallah. Kita akan riang gembira mendengar orang-orang membincangkan nama beliau dan darah bisa mendadak mendidih jika mendengar orang menghina beliau.
Sudah sekian hari Madinah tidak mendengar suara Bilal bin Rabah. Sahabat senior ini amat berduka ditinggal wafat Nabi. Ia menolak azan setiap tiba waktu salat. Dan Madinah diselimuti duka.
Hingga akhirnya Siti Fatimah, putri Nabi, datang memintanya. Bilal memulai dengan takbir dan berhasil melewati syahadat ula. Namun suaranya lenyap begitu sampai pada syahadat kedua. Bilal tampak tidak kuasa mengendalikan emosi. Kedua bibirnya bergetar.
Dadanya meledak. Hidung membeku. Air mata tumpah. Pakaian basah. Matanya bengkak. Fatimah tersedu. Madinah tersedan. Muhammad adalah nama yang memenuhi jiwa. Kini, nama itu tidak dapat hinggap di lidah dan tak menembus kerongkongan.
Bilal bukan menolak memanggil nama itu, tapi ini karena rasa kehilangan yang teramat sangat. Kehilangan yang bukan saja menghentak dia dan para sahabat tapi juga kaum muslimin di dunia. Kehilangan itu terasa hingga jarak yang teramat jauh. Sejauh perjalanan waktu 1445 tahun.
Begitu Bilal sampai pada kalimat “Asyhadu Anna Mu….” dan angkasa pun dirundung duka. Awan kelabu berarak. Berat. Laksana wanita hamil tua. Madinah banjir air mata. Tanah merekah. Bumi menelan air mata duka.
Suara Bilal memeluk tebing, menyelimuti gunung-gunung bebatuan. Sinar mentari meredup. Angin berayun melembut. Alam semesta merunduk dalam tafakur penuh misteri. Dan kehidupan pun berhenti berdenyut.
Sebab itu, Rudolf Otto menyebut suasana, bak “mysterium tremendum et fascinosum: suasana gaib nan unik, menautkan kejut-getir dan rindu yang menyengat.” Seperti itulah alam semesta memberi makna atas wafatnya manusia paling sempurna; insan kamil.
***
Abbas bin Abdil Muthallib meriwayatkan dari Baginda Rasul. “Mereka yang dapat merasakan iman adalah yang ridho (menerima) Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai Rasulnya.”
Deretan kalimat itu adalah untaian baiat para sahabat kepada Nabi. Kata “iman” tidak lagi mampu mewakili rasa dan suara batin mereka. Dan kata “ridho” serasa lebih nikmat, hingga menjadi kalimat; “Aku ridho Allah sebagai Tuhanku.”
Dan Bilal adalah salah seorang sahabat yang berbaiat kepada Nabi dengan kata-kata magis itu. “Dan Aku ridho Muhammad sebagai Rasul.” Bukan semata “percaya”. Karena itulah kenapa Nabi sangat mencintai para sahabat dan umatnya.
Inilah jawaban cinta Nabi kepada kita dalam sebuah hadits, “Man ahabbani kaana ma’i fil jannah–Siapa mencintaiku, dia akan bersamaku di surga.” Dan cinta jemaah haji adalah penerimaan atas Muhamamad sebagai Rasulullah.
“Kita akan selalu bersama, Cinta,” seru Nabi kepada jemaah haji.
Shollu ‘alan Nabiy !!!
Ishaq Zubaedi Raqib –MCH Daker Makkah Al Mukarramah.