Kalbu dalam Islam menempati tempat yang istimewa, mengingat iman yang terpatri pada diri manusia mukmin terdapat di dalamnya. Dengan cahaya iman itu, kalbu seseorang akan terus hidup dan mendorong pada kebaikan serta menebar manfaat bagi sesama.
Sebaliknya, jika cahaya iman tersebut redup, maka kalbu akan mati dan cenderung mendorong manusia untuk berbuat keburukan. Menurut Ibnu Athâillah al-Sakandarî, ciri-ciri kalbu yang mati adalah tidak adanya rasa sedih atas ibadah dan perbuatan baik yang ditinggalkannya. Ia tidak menyesali perbuatan buruk yang senantiasa dilakukannya setiap hari,
Sehingga akan terlena dalam kubangan kehinaan. Senada dengan itu, pensyarah kitab al-Hikam, yakni Syaikh Ibnu Abbâd al-Nafazî al-Randî (w. 792 H) mepertegas bahwa kalbu jika hidup dengan cahaya iman, maka akan merasa sedih apabila seseorang meninggalkan ketaatan kepada Allah s.w.t.. Sebaliknya, kalbu tersebut merasa menyesal apabila seseorang melakukan perbuatan dosa dan salah.
Dalam pengertian anatomis, kalbu adalah organ tubuh manusia yang berfungsi untuk memompa darah, letaknya ada di tengah dada memanjang ke sisi kiri. Dalam bahasa medis, letak organ tersebut dinamakan jantung. Lambat laun, pengertian kalbu mengalami perubahan, seiring berkembangnya bahasa dan ungkapan dalam interaksi sosial manusia menjadi hati atau liver.
Dalam spektrum Islam, kalbu seringkali diartikan dengan hati dalam pengertian emosi dan perasaan atau dzauq. Karena itu, apabila ditarik ke dalam wilayah tasawuf, maka kalbu di sini identik dengan kesadaran akal pada sisi dimensi ruhani dan spiritual. Dengan demikian, maka kalbu yang menjadi titik fokus dalam kajian ini adalah Kalbu Ruhani atau Qalb al-Rûhânî, sebagaimana menurut istilah al-Ghazali.
Kembali pada pembahasan mengenai ciri-ciri matinya kalbu menurut al-Sakandarî, apabila seseorang merasa sedih setelah melakukan perbuatan buruk, itu menjadi ciri bahwa kalbunya menyesal. Ia tidak setuju dan menolak perbuatan buruk yang telah dilakukan oleh manusia, Selanjutnya, jika seseorang merasa senang setelah melakukan amal baik, itu pertanda bahwa kalbunya merasa bahagia dan ridha atas perbuatan tersebut.
Kalbu yang senantiasa mendapatkan cahaya iman, senantiasa menunjukkan pada kebaikan. Sebaliknya kalbu yang telah mati, maka ia akan menjerumuskan umat manusia ke dalam kubangan kehinaan. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barang siapa yang amal perbuatan baiknya membuat bahagia dan perbuatan buruknya membuatnya sedih, maka ia adalah seorang mukmin”. (Hadits Hasan, Riwayat Turmudzi). Hadits ini juga bisa dilihat dalam Kitab al-Sunan al-Kubrâ karya Imam al-Nasa’î dengan derajat yang sama dari jalur Sayyidina Umar bin Khattab r.a..
Dari sabda Rasulullah s.a.w. di atas, kita bisa memahami bahwa secara naluri, perbuatan baik itu akan membuat seseorang bahagia, karena sesuai dengan fitrah hati nuraninya. Sedangkan perbuatan buruk, akan membuat seseorang bersedih, lantaran bertolak belakang dengan naluri hati nuraninya. Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita menemukan fenomena seseorang yang dihantui perasaan bersalah setelah melakukan perbuatan kriminal, meskipun tidak diproses secara hukum positif.
Hal itu terjadi karena kalbunya menolak perbuatan kriminal tersebut, karena tidak sesuai dengan naluri hati nuraninya. Ada sebuah adagium yang mungkin sering kita dengar, yakni apabila kita hendak melakukan sesuatu, maka tanyakanlah kepada hati nurani atau kalbu. Karena pada hakikatnya, hati nurani tidak akan pernah menunjukkan kepada sesuatu yang buruk.
Hati nurani yang berlandaskan cahaya iman merupakan tolak ukur seseorang dalam bertindak. Apabila hal itu tidak ada dalam diri seseorang, maka bisa diidentifikasi bahwa kalbunya telah mati. Ridha Allah maupun murka-Nya terletak bagaimana seseorang itu beramal. Jika amalnya baik, maka pada hakikatnya Allah ridha kepadanya.
Namun, apabila amal perbuatannya buruk, maka sebenarnya, ia telah mendapat murka-Nya. Allah ridha kepada hamba-Nya dengan menggerakkan hati hamba tersebut untuk selalu melakukan kebaikan. Sebaliknya, Allah murka kepada hamba-Nya dengan menggerakkkan hatinya untuk selalu melakukan dosa. Jadi kecenderungan seorang hamba kepada kebaikan menunjukkan bahwa Allah ridha kepadanya. Namun, jika seorang hamba cenderung kepada keburukan, maka itu pertanda bahwa Allah murka kepadanya.
Apabila ditelisik lebih jauh, sebenarnya amal shaleh itu mempunyai tanda-tanda yang bisa diidentifikasi secara kasat mata. Dalam konteks individu yang melakukan amal baik, itu bisa dirasa dengan perasaan senang karena telah melakukan hal positif. Perasaan senang itu sebenarnya tidak bisa diungkapkan lewat kata.
Hanya saja dalam interaksi sosial, ia mengungkapkannya lewat symbol dan gerak-gerik yang bisa dibaca oleh orang lain, seperti tersenyum serta ungkapan lain yang berpengaruh positif. Di samping itu, contoh lain yang bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari adalah keinginan kita untuk mengaji, seperti mengkaji ilmu Allah seperti yang kita lakukan sebagai seorang pelajar dan santri. Keinginan yang ada pada diri kita dalam mengkaji ilmu syariat, pada hakikatnya pertanda bahwa kalbu kita digerakkan oleh Allah untuk bersama-sama duduk di majelis ilmu.
Sebagaimana jamak diketahui bahwa mengkaji ilmu agama merupakan salah satu kebaikan di mana Allah s.w.t. memberikan rahmat-Nya kepada yang hadir. Tidak semua orang mendapatkan kesempatan ini, yakni tergerak dalam hatinya untuk hadir dalam majelis ilmu. Karena kesempatan tidak akan datang untuk kedua kalinya.
Orang yang kehilangan kesempatan untuk beramal shaleh merupakan sesuatu yang aneh bagi orang mukmin yang hatinya dihidupkan oleh Allah s.w.t.. Tapi hal itu tidak aneh bagi orang yang kalbunya telah dimatikan oleh-Nya. Jika kalbunya telah mati, kehilangan kesempatan untuk berbuat baik dan beramal shaleh, merupakan hal lumrah.
Konsekuensinya adalah berbuat maksiat dianggap sebagai rutinitas normal yang tidak punya konsekuensi logis. Sedangkan berbuat kebaikan dianggap sebagai beban berat yang menggorogoti badan. Soal kesempatan dan waktu luang, banyak sekali kita temukan ayat-ayat al-Qur’an yang menyinggung persolan itu agar kita umat muslim mempergunakannya sebaik mungkin.
Di antara ayat-ayat tersebut adalah surat al-Ashr, Allah s.w.t. berfirman: “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran” (QS. Al-Ashr, 103:1-3). Jika memahami ayat ini secara mendalam, maka kita akan dihadapkan pada dua persoalan penting yang menyangkut kajian ini.
Pertama, Allah s.w.t. bersumpah dengan waktu yang mengindikasikan bahwa mempergunakan waktu dengan baik merupakan ciri seorang mukmin yang kaffah. Artinya, mukmin yang baik tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu dengan akativitas yang tidak bermakna. Karena baginya, waktu itu ibarat pedang yang apabila tidak dipergunakan dengan baik, maka ia akan menjadi senjata makan tuan. Karena itu Rasulullah s.a.w. mewanti-wanti umatnya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan, yaitu waktu sehat dan waktu kosong.
Ni’matâni maghbûnun Fihimâ Katsîrun Minan Nâsi: Al-Shihhatu wa al-Farâghu. Ada dua nikmat yang paling sering diabaikan oleh kebanyakan umat manusia, yakni nikmat sehat dan waktu luang.
Dari hadits di atas kita dapat membagi manusia dalam empat kategori. (1) orang yang sehat dan punya kesempatan berbuat baik, (2) orang yang sehat, tapi tidak sempat berbuat baik, (3) orang yang sakit tapi sempat berbuat baik, dan (4) orang yang sakit tapi tak sempat berbuat baik. Kedua, amal shaleh merupakan landasan utama bagi orang-orang yang beriman. Ia merupakan perwujudan keimanan seseorang, tanpa dibarengi amal shaleh, keimanan seseorang hanyalah klaim yang terpatri di dalam dada.
Karena itu, banyak sekali kita jumpai ayat al-Qur’an yang selalu menyebut kata “orang yang beriman” dibarengi dengan “amal shaleh”. Yâ Ayyuhal Ladzîna Amanû wa Amilus Shâlihat. “Wahai orang-orang yang beriman dan beramal shaleh”. Mendapat kesempatan untuk berbuat baik dan beramal shaleh tidaklah mudah, dengan demikian maka apabila kita mendapatkan kesempatan itu, hendaklah dipergunakan sebagai mungkin. Al-Waqtu ka al-Saif, in Lam taqtha’hu, Qatha’aka. Waktu itu ibarat pedang, jika tidak dipergunakan dengan baik, maka akan menjadi senjata makan tuan. Wallahu A’lam bis Shawâb!
(Transkip Pengajian Syarah Hikam Rais Amm PBNU KH Miftchul Akhyar pada pertemuan Ke-78 di Kanal Youtube TVNU Juli 2024)