KH Abdurrahman Wachid (Gus Dur) bagaikan magnet bagi media. Ia memiliki daya tarik dan rekat tersendiri bagi para penulis berita. Media merasa nyaman dengan Gus Dur. Penyataan Gus Dur menjadi kutipan menarik dan kerap menjadi head line media.
Nama Gus Dur mulai muncul di media sejak ia menjadi sekretaris pondok pesantren Tebu Ireng Jombang tahun 1975. Ia menulis pertama kali mengamati pesantren dan perkembangan masyarakat di majalah Prisma, sebuah majalah bergengsi bacaan para intelektual. Lantas namanya juga muncul di koran Kompas. Selanjutnya majalah Tempo dan media lainnya, termasuk majalah Islam Wahyu yang mendapat perhatian sendiri Gus Dur.
Berbeda dengan menulis untuk Kompas dan Prisma, di Tempo Gus Dur justru banyak menampilkan pemikiran para ulama, sebagian besar ulama NU. Popularitas Gus Dur sebagai kolumnis Tempo kemudian menyamai Mahbub Djunaidi, Ong Hok Ham, Sutjipto Wirosardjono, Soedjatmoko, dan lain sebagainya.
Gus Dur datang dengan tas kulit, sepatu sandal dan baju lengan pendek di luar celana, ia lihat ada mesin ketik yang kosong di kantor Tempo dan langsung menulis. Tak lama kemudian jadi sebuah tulisan dan diserahkan kepada sekretaris redaksi Etty Asa.
Waktu itu masih menggunakan mesin ketik manual merek Olimpia. Diketik di atas kertas buram yang sudah tersedia dengan ukuran berpengatur tata letak majalah. Tidak ada tip-ex sehingga jika salah cukup dicoret dengan bolpen atau ditindih dengan ketikan xxxxx.
Sejak Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU, nama Gus Dur masuk jajaran salah satu ketua MUI dibawah pimpinan KH Hasan Basri. Pada setiap rapat kerja MUI, Gus Dur menjadi daya tarik sendiri bagi media. Di depan manteri Agama Laksmana Madya dr. H. Tarmizi Taher, KH Hasan Basri, Mayjen Soedjono, dan lainya pada zaman kekuatan Presiden Soeharto di atas angin, Gus Dur tanpa beban bercerita kepada pers tentang nasib Soeharto melalui mimpi seorang ulama.
Sorang ulama bermimpi mendapat isyarat sebuah ayat Al-Quran. Ulama itu mencari tafsirnya hingga bertemu seorang ulama yang waskita. Kata ulama waskita itu, tafsir mimpinya adalah akan ada seorang raja atau kepala negara yang akan ditinggalkan para jenderalnya. Para wartawan terperangah tapi Gus Dur segera mengajak kami tertawa. Menteri Agama yang laksamana itu ikut tersenyum.
Dalam Munas NU di Pondok Pesantren Al-Ihya Cilacap, Gus Dur menjelaskan kepada wartawan beberapa keputusan Munas yang mengutip beberapa ayat Al-Quran. Beberapa wartawan bertanya tentang ayat dan surahnya. Gus Dur menjelaskan. “Memang, selama ini ada orang yang hanya hafal nama surat dan nomor ayatnya tapi tidak bisa baca ayatnya, sementara kiai-kiai ini hafal ayatnya di luar kepala dan tidak diingat lagi surah dan ayatnya.”
Ketika Gus Dur akan mendeklarasikan Forum Demokrasi, ia datang ke kantor majalah Editor di Jalan KH Dahlan, Kebayoran Baru. Seperti biasa ia memakai mesin ketik manual dan kemudian menulis tulisan dua halaman di majalah pacahan majalah Tempo itu. Tak lama kemudian selesai dan dimuat dalam majalah Editor dengan judul Forum Demokrasi yang terbit 25 Mei 1991, yang mengantarnya menjadi tokoh Editor tahun 1995. Forum Demokrasi menggelinding terus dengan dukungan sejumlah tokoh yang memiliki andil bergulirnya reformasi perpolitikan di Indonesia.
Kasus tabloid Monitor yang menghebohkan, Gus Dur ikut menyelamatkan harian Kompas sebagai induk dari tabloid itu (Gramedia) sehingga cukup Monitor yang diberangus meski banyak tekanan yang menginginkan Kompas iku diberangus. Gus Dur pasang badan untuk sebuah media yang ikut menaikkan derajat demokrasi dan kecerdasan pembacanya.
Muktamar Cipasung tahun 1993 benar-benar Gus Dur menjadi idola media yang senafas geraknya. ‘Permusuhan’ Gus Dur dengan Soeharto sejak Muktamar NU di Yogyakarta 1989 banyak pers yang berpihak ke Gus Dur dengan selalu memberi porsi pemberitaan yang lebih. Sebab, Gus Dur juga menjanjikan pasar cerah.
Mekipun Gus Dur ikut membidani terbitnya tabloid Warta NU sejak Muktamar Situbondo 1984, tapi, Gus Dur menganggap semua media yang ada adalah ‘corong’ NU. Sehingga apa pun harus ada nama Gus Dur termasuk menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta dan juri Festifal Film Indonesia. Last but no least, Gus Dur terpilih sebagai Presidien RI dan media menempati posisi paling nyaman.
Bahkan, saat-saat akhir Gus Dur melepas jabatan kepresidenan justru ‘sowan’ ke rumah tokoh pers H. Rosihan Anwar, tokoh yang ‘bersebarangan’ dengan Gus Dur.
Ibu Shinta
Reuni Eks Tempo tahun 2024 diselenggarakan di London School of Communication yang dihadiri Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wachid. Mengapa ada Ibu Shinta? Ibu Shinta pernah menjadi wartawan dan redaktur majalah Zaman, majalah keluarga dalam grup Grafiti, penerbit majalah Tempo. Majalah Zaman terbit sejak tahun 1978 hingga kemudian berubah menjadi majalah Matra tahun 1982.
Gus Dur dan Ibu Shinta tak akan bisa melupakan media. Media dan Gus Dur telah berkolaborasi ikut ‘menciptakan’ masyarakat yang lebih cerdas melalui keterbukaan informasi. (Musthafa Helmy)