Syaikh Ibnu Athâillah al-Sakandarî berkata: “Aurada ‘Alaika al-Wârid Liyatasallamaka mi Yadil Aghyâri wa Liyuharriraka min Riqqil Âtsâr”. Allah s.w.t. menganugerahkan kepada manusia suatu ilham, cahaya, pengetahuan, dan pertolongan yang berbentuk intuisi untuk memerdekakannya dari belenggu perbudakan syaitan.
Di samping itu, anugerah Allah s.w.t. yang berupa ilham, cahaya, pengetahuan, dan intuisi sebagaimana termaktub adalah untuk memerdekaan manusia dari perbudakan tipu daya syaitan yang menyesatkan. Secara umum, mungkin kita memahami bahwa perbudakan itu identik dengan fisik, seperti perampasan kemerdekaan seseorang atau eksploitasi untuk kepentingan seseorang yang melakukan perbudakan terhadap objek budak.
Namun dalam konteks ini, perbudakan tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik materialistik. Lebih jauh, perbudakaan yang cukup membahayakan bila terjadi dalam wilayah metafisik immaterialistik. Karena itu, syaitan seringkali memperbudak manusia pada spektrum metafisik immaterialistik ini, karena yang dicengkram bukanlah fisik manusia, namun lebih kepada jiwa dan mentalnya. Perbudakan terhadap jiwa dan mental seseorang cenderung abstrak, tidak bisa diraba dengan pancaindera. Perbudakan jiwa dan mental membelenggu pikiran dan jiwa seseorang sehingga tidak mampu berpikir secara waras.
Mereka yang jiwa dan mentalnya telah diperbudak oleh syaitan akan cenderung pasif dan tidak memiliki inisiatif untuk berbuat positif. Akibat perbudakan jiwa dan mental yang dilakukan syaitan itulah, seseorang seringkali terbuai dalam kesenangan duniawi yang menipu dan menyesatkan. Ia juga lupa mengenai hakikat manusia yang tidak lain merupakan makhluk yang diciptakan untuk proyeksi akhirat. Konsekuensi logisnya adalah ia lupa bahwa tujuan hidupnya di muka bumi untuk menghambakan diri kepada Allah sekaligus sebagai wakil-Nya tidak dijadikan prioritas utama.
Dalam al-Qur’an, ada dua tujuan diciptakannya manusia, yaitu pertama untuk beribadah kepada Allah s.w.t., baik ibadah vertikal, maupun ibadah horizontal. Tujuan kedua adalah untuk menjadi khalifah atau wakil Allah di muka bumi. Sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi, manusia diberi mandat untuk mengelola bumi dan mengembangkan seluruh sumber daya alam demi kelangsungan hidup mereka. Dalam perspektif ekologi, maksud dari Khalîfah fî al-Ardh adalah pemanfaatan sumber daya alam dengan bijaksana merupakan mandat yang diberikan Allah kepada manusia dalam rangka menjaga ekosistem dan kesimbangan alam, sehingga tercipta kehidupan makhluk hidup yang dinamis dan tidak merusak.
Apabila ditarik ulur ke dalam pembahasan kita mengenai perbudakan jiwa dan mental dalam perspektif ekologi ini, maka bisa diasumsikan bahwa kerusakan ekosistem lingkungan diakibatkan oleh ulah tangan manusia yang jiwa dan mentalnya dijajah oleh syaitan. Namun demikian, manusia sebagai homo educandum yang secara fitrah dapat dididik mempunyai potensi besar berupa akal, pikiran, dan kalbu. Dengan ketiga senjata itulah manusia dapat menerima al-Wârid atau yang kita bahasakan dengan ilham, cahaya, pengetahuan, dan intuisi mampu memerdekakan dirinya dari belenggu perbudakan jiwa dan mental yang dilakukan syaitan. Alasan inilah mengapa Allah s.w.t. menciptakan, mendidik, lalu mendeklarasikan Nabi Adam a.s. sebagai khalifah-Nya di muka bumi, meskipun pada awalnya, malaikat merasa keberatan. Keberatan itu tidak berlangsung lama, mengingat anugerah luar biasa yang dianugerahkan kepada Nabi Adam a.s., sehingga merekapun bersujud kepadanya.
Potensi luar biasa manusia sebagai makhluk sempurna terdiri dari beberapa organ dengan fungsinya masing-masing. Dari bagian-bagian organ tersebut lalu disusun menjadi satu kesatuan sehingga menjadi piranti utuh yang menjadikannya sebagai produk sempurna. Kesempurnaan penciptaan manusia sebagai makhluk Allah oleh al-Qur’an disebut dengan Ahsanu Taqwîm yang terdiri dari bentuk fisik, serta tiga bagian lahiriah, yaitu jiwa atau al-Nafs, akal, dan hati sanubari atau kalbu. Al-Qurtubi dalam tafsirnya menyinggung Ahsanu Taqwîm dalam penciptaan manusia ini dengan concept of equilibrium atau konsep keseimbangan. Maksudnya adalah bahwa secara fisik, manusia dianugerahi oleh Allah dengan keseimbangan panca-indera, seperti dua mata, dua telingan, dua lubang hidung. Lebih jauh, keseimbangan bentuk fisik manusia tersebut tergambar dalam bentuk tangan kanan dan kiri, lalu kaki kanan dan kiri.
Concept of equilibrium sebagaimana disinggung di atas, oleh al-Qurtubi dibahasakan dengan: “Fa Hâdzâ Yadulluka ‘Alâ Annal Insâna Ahsanu Khalqillâh Bâthinan wa Dzâhiran”. Dalam hal penciptaan manusia bisa disimpulkan bahwa ia merupakan produk terbaik dari sekian ciptaan Allah, karena kesempurnaan penciptaannya tidak hanya menyangkut hal yang bersifat lahir, namun juga bersifat batin. Selanjutnya, al-Qurtubi juga menegaskan bahwa pada hakikatnya manusia merupakan microcosmos atau alam semesta kecil, karena unsur-unsur semua makhluk ciptaan Allah, terkumpul di dalam dirinya. “Innahû al-‘Âlam al-Asghar Idz Kullu Mâ Fî al-Makhlûqât, Jumi’a Fîhi. Karena itulah Allah s.w.t. memberikan mandat ekologis kepada manusia sebagai wakil-Nya dalam mengelola bumi dan isinya untuk kelestarian makhluk hidup dan kesejahteraan umat manusia itu sendiri.
Secara lahiriah, manusia mempunyai tiga potensi yang luar biasa, yaitu al-Nafs atau jiwa, akal, dan kalbu atau hati sanbari. Term al-Nafs dalam al-Qur’an banyak disebut dengan berbagai macam derivasi berikut maknanya. Meskipun begitu, dalam kajian ini, makna al-Nafs ditekankan pada jiwa, sebagaimana firman Allah s.w.t.: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”. (QS. Al-Syams, 91:7-8). Sebagaimana disinggung pada awal kajian ini bahwa al-Wârid merupakan anugerah Allah s.w.t. kepada manusia, baik berupa cahaya, pengetahuan, ilham, dan intuisi. Pada ayat tersebut, Allah memberikan ilham kepada manusia untuk memilih dua jalan yang masing-masing mempunyai konsekuensi logis, yaitu kebaikan dan keburukan. Selanjutnya putusan pilihan terhadap dua jalan itu dibebankan kepada manusia, apakah ia akan memilih kebaikan atau keburukan.
Proses menentukan pilihan yang dilakukan oleh manusia melibatkan akal dan hati nuraninya sehingga keputusan yang diambil tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Karena itu, dalam kerangka ilmu sosiologi, manusia seringkali dibahasakan dengan aktor rasional, maksudnya bahwa keputusannya dalam menentukan pilihan lantaran memiliki tujuan yang jelas. Di samping itu, manusia yang dihadapkan pada penentuan pilihan sudah mempunyai brangkas informasi yang memadai sehingga mampu melakukan evaluasi terhadap segala konsekuensi logisnya. Tentu saja, mesin utama manusia dalam melakukan rasionalisasi pilihan adalah akal dan kalbunya. Akal berfungsi untuk menyerap dan informasi, lalu mengolahnya sehingga menjadi sebuah epistemologi pengetahuan. Karena itu, dalam Islam akal bagi manusia merupakan “al-Quwwah al-Muhayyi’ah li Qabûl al-Ilm” atau potensi kuat untuk menerima ilmu pengetahuan.
Kalbu atau hati nurani adalah tempat yang secara immaterial bersemayamnya emosi dan perasaan manusia. Dalam hadits dikatakan bahwa kalbu adalah sebongkah darah yang menjadi pusat gerak tingkah laku manusia, apabila energi yang ditimbulkannya positif, maka akan berdampak positif pada seluruh laku lampahnya. Sebaliknya jika energi negatif yang dihasilkan oleh kalbu, maka akan berdampak pada gerak dan sikap negatif pada manusia. Dengan demikian, para ahli seringkali mengaitkan kalbu seseorang dengan ihwal kepekaan emosional dan perasaannya. Senada dengan itu, kalbu juga dikaitkan dengan pusat kesadaran, intuisi, dan kebijaksanaan. Dalam diskursus tasawuf, kalbu seringkali dihubungkan dengan kemampuan manusia dalam memahami sesuatu di luar logika, sekaligus tumpuan dalam membedakan dan memutuskan antara yang baik dan buruk.
Dengan demikian, maka dalam hal memutuskan pilihan, manusia akan selalu melibatkan tiga potensi batiniah luar biasa yang dimilikinya, yaitu al-Nafs, al-Aql, dan al-Qalb. Ketiganya mempunyai fungsi dan tugas masing-masing sebagaimana diuraikan di atas. Ketiganya merupakan al-Wârid yang dianugerahkan Allah s.w.t. kepada manusia untuk membebaskan dirinya dari belenggu perbudakan syaitan. Manusia akan selamat apabila menggunakan potensi al-Wârid berupa al-Nafs, al-Aql, dan al-Qalb. Justu ia akan menjadi penghuni neraka Jahannam bersama syaitan apabila potensi al-Wârid di atas tidak dipergunakan sama sekali. Allah s.w.t. berfirman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai hewan ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. Al-A’raf, 07:179). Wallâhu A’lam bis Shawâb!