Tirakat Satu Abad, Membentuk Barokah Raksasa

H. Ishaq Zubaedi Raqib (Ketua LTN PBNU) 

Seperti Putra Sang Petir, pekik Gus Yahya Ketua Umum PBNU, membelah lapis-lapis langit. Menusuk tajam. Menggedor jutaan dada. Suaranya bertenaga. Mengandung berton-ton energi magnetis. Membetot jutaan pandang mata dari sudut-sudut sempit di pojok negeri.

Dia bukan Rendra. Bukan Sattah dan bukan Rizal Manua. Dia bukan Ikranagara dan juga bukan Sutardji. Tapi jelas, di sana, ada Gus Mus dan D. Zawawi Imron. Dua ikon leksikon sastra sufi nusantara.

Pagi itu, cahaya matahari abad kedua, tumpah. Memeluk rumput rebah di Delta, Sidoarjo. Udara hangat terasa di kulit. Nahdliyin dan nahdliyah, tua muda, renta dan kanak-kanak, datang memasuki gerbang, yang sejak pukul 00.00 WIB mulai dibuka.

Gerbang magis berderak lewat sentuhan ruhani. Berderak karena keikhlasan dan kebeningan hati para wali Allah, pendiri jam’iyyah. Dari kumparan zikir satu abad, terciptalah kawah barokah raksasa. Di gerbang abad kedua NU ini, umat dengan suka cita mereguknya.

Gus Yahya, diyakini oleh sejumlah orang bahwa dia mendapat ‘khotiroh ilahiyah’. Ada sanad ruhani yang mengalir dalam dirinya. Memantul melalui rongga mulut dan lepas ke angkasa lewat suara teatrikal yang serak menggelegar.

Membentuk getar resonansi, menyeberangi lautan maya, mengirim pesan untuk umat manusia. “Ini semua karena keikhlasan ibadah dan kebeningan hati para wali Allah SWT, pendiri NU,” gumam Gus Yahya. Ya, ikhlas beribadah dalam kebeningan hati.

Bergetar

Para guru, ulama, kiai di lingkungan NU, tak pernah sulit menafsir ajaran Tuhan tentang ibadah. Bahkan, rukun Islam yang ‘berat’, dapat dimaknai secara sederhana. Sesederhana hidup orang-orang ‘sarungan’ dan orang-orang pinggiran.

Bahwa, misalnya, salat dilakukan untuk ingat Allah, puasa untuk mencapai takwa, dan zakat untuk tazkiyah diri. Ingat Allah, hati bertakwa dan jiwa yang suci, adalah sasaran ajaran Islam. Ketiga fakultas ibadah ini, akan bermuara pada terciptanya hati yang bening.

Hati yang bening akan menjadi cermin tempat mematut diri, mendekatkan jiwa kepada gambaran tentang hamba yang mendapat ridho Tuhan. Hati yang bening akan memelihara diri dari anasir-anasir negatif, memberi sinyal adanya ancaman dan menyelamatkan pemiliknya di kehidupan dunia akhirat.

Hati yang bening akan menjadi lembut sehingga gampang bergetar, mudah jatuh iba, dan cepat tersentuh. Persis yang sering dikonstatasi Gus Mus ‘ulama adalah dia yang melihat umat dengan mata/pandangan rahmah’.

Inilah tetesan bening yang mengalir dari kelopak-kelopak mata para wali Allah, pengggas dan pendiri NU. Santun dan tidak suka kekerasan. Penuh welas asih kepada siapa pun. Hati semacam ini, gampang beresonansi. Mudah bergetar.

Getarannya terasa hingga jarak yang sangat jauh. Jauh sekali melampaui angka-angka matematis. Ia akan ‘mengajak’ benda-benda sekitar ikut bergetar. Dari mana ia bersumber? Dari hati yang lembut nan bening. Hati yang telah menjelma tabung ilahiyah.

Tabung yang saat berbunyi, bersuara, akan mengirim isyarat positif dan menentramkan. Getarannya terasa lembut tetapi bisa mengirim frekuensi yang sangat tinggi dan teratur.

Tabung ini terbentuk, antara lain karena ada zikir yang massif, jama’ie, terpusat. Seperti lantunan ayat dan bisikan qur’aniyah Sayid Agil Al Munawwar, salawatan Habib Sheikh Abdul Qadir, manaqib Sheikh Abdul Qadir, dan ijazah kubro Habib Luthfi bin Yahya.

Semua ibadah ini terpusat di Delta Sidoarjo. Diawali istighosah sejak 9 hari lalu. Dengung dan gema firman suci serta puja-puji kepada rasul, datang dari desa menyerbu kota. Suasana batin ini, sudah dibangun sejak satu abad silam, lewat tirakat para kiai, ulama, pendiri NU.

Getar tirakat itu, bak suling yang suaranya menelusup di celah-celah sempit, mengumpulkan derai istighosah dan merangkum kegiatan ritual dari tanah-tanah tempat duduk dan berpijak jemaah.

Gelombang Cahaya

Tabung ini, makin sering diasah akan semakin menjelma tabung resonansi raksasa. Akan kian cepat membentuk frekuensi yang kian lama kian meninggi. Jika hati bertambah bening maka akan bertambah tinggi pula kadar frekuensinya.

Catatan fisika menunjukkan, pada frekuensi 10 pangkat 8, akan muncul gelombang radio. Jika naik ke pangkat 14, maka akan melahirkan gelombang cahaya. Sebuah sinar yang berasal dari rububiyat Nurullah! (QS 24 : 35)

Dan, cahaya itulah yang muncul dalam kehidupan para awliyaullah, berimbas hingga abad kedua NU. Jika cahaya itu menguat, maka miliaran bio-elektron dari tubuh ‘sang kiai’, akan berpendar, meluap dari tubuhnya dan menyinari alam sekitar.

Itulah kenapa warga nahdliyin, para santri, ingin selalu dan dengan tulus mau bertaruh apa saja, agar dapat berdekat-dekatan dengan kiai, ulama, habaib. Untuk apa? Agar beroleh berkah pancaran sinar para pewaris para nabi.

Semakin sering ‘mujalasah’ dengan mereka, akan semakin sering terpapar cahaya. Jika frekuensi mujalasah, bersentuhan fisik lewat jabat dan cium tangan, tafaulan tempat dan jejak, serta simak pitutur kiai, lama kelamaan cahaya akan menetap dalam dirinya.

Atas keridhaan Allah lewat wasilah para kiai, ia sangat mungkin bisa menyinari keluarganya. Atau, paling tidak menyinari dirinya sendiri, agar selamat dan tetap memegang suluh menuju gerbang akhir kehidupan.

‘Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memberi petunjuk’. (QS 39 : 23)

Begitu gamblang Allah menjelaskan, betapa firman dan semua kalimah toyyibah, dengan mudah membuat hati tenang. Lihatlah bagaimana kulit dan raut muka penikmat, pengamal, pembaca ayat-ayat suci, dzikir, awrad dan wazifah tarekat, mudah ditandai, terlihat menentramkan dan pada tahap tertentu jadi ‘candu’ spiritual.

Dengan rujukan ini, kini menjamur klinik-klinik kesehatan menawarkan pendekatan dan konsep relaksasi untuk melembutkan kulit dan tubuh.

Kalimah Mengguncang

Bukti terkini adalah gemuruh ayat suci, salawat kepada nabi, manaqiban para awliyaullah, dan segala jenis puja-puji sejak satu abad silam, telah menjadi penanda datangnya abad baru.

Dengan kekuatan yang sudah ‘hamil tua’ itu, Gus Yahya menyapa semua elemen di lingkungan NU. Menyapa Indonesia. Menyapa dunia. Bahwa di sini, di NU, di Nusantara, ada tabung raksasa yang siap menyinari semesta. Daya yang mengguncang!

Mari simak firman mulia berikut, ‘…Dan sekiranya ada suatu bacaan (Kitab Suci) yang dengan itu gunung-gunung dapat diguncangkan, atau bumi jadi terbelah, atau orang yang sudah mati dapat berbicara, (maka itulah Al-Qur’an). Sebenarnya segala urusan itu milik Allah. Maka tidakkah orang-orang yang beriman mengetahui bahwa sekiranya Allah menghendaki (semua manusia beriman), tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia semuanya…’ (QS 13 : 31)

Alangkah dahsyat gombang energi itu. Kumparan yang tidak saja mampu membuat gunung berguncang, bumi membelah tetapi juga bisa membuat lautan mayat berbicara. Gelombang energi itu pernah membuat tongkat Musa membelah laut, bara api mendingin dan menyelamatkan Ibrahim, tangan Daud yang membuat besi jadi lembut seperti lempung, Sulaiman yang berdialog dengan binatang, atau ujung jari Sang Nabi yang membelah bulan.

Dalam skala yang lebih kecil, sistem energial itu telah membuat NU berada dalam satu barisan, melangkah dan menapak di jalan Aswaja. Aswaja Nusantara yang mendigdayakan NU. Para guru telah bermujahadah sejak satu abad silam, dan warga NU siap memanfaatkan maqam beramal yang sudah tersedia.

“Sungguh. Kita tidak mungkin melakukan apa pun selain menerima manfaat tabarrukan dari maqam amal yang diikhtiarkan guru-guru kita. Mari menuju Kebangkitan Baru,” seru Gus Yahya.

Suara Gus Yahya itu. Gelegar itu. Pada tanggal 16 Rajab 1444 lalu. 7 Februari 2023 tempo hari. Meluncur deras dan mengisi ruang-ruang batin di belakang kecepatan cahaya. Cahaya para guru, ulama, kiai, habaib.

Cahaya dengan kecepatan 300 ribu kilometer per-detik. Cahaya yang legitimasi teologisnya tersedia di dalam ayat-ayat suci, seperti tertera di atas. Ayat-ayat tentang cahaya yang kerap dikutip Ketua Umum PBNU. Ketua Umum Pelintas Batas Abad Pertama ke Abad Kedua. Gus Yahya-Gus yang ‘menghidupkan’!

‘Oh Universe! Welcome to the second century of Nahdlatul Ulama!’

(detik.com)

Leave A Reply

Your email address will not be published.