Don’t Cry for me Palestina

0

Tak ada derai tawa lagi di Gaza. Sepi senyum merekah di Palestina. Kebahagiaan mereka telah terkubur dalam derai air mata. Tak hanya Gaza dan Palestina menangis. Dunia menangis. Mereka yang memiliki hati nurani, mereka yang memiliki pikiran jernih, akan ikut larut dalam kesedihan melihat ribuan orang –termasuk anak-anak dan wanita– dibantai keji dengan peluru-peluru tajam tentara Israel.

Gaza adalah kota bersejarah yang tercatat sejak 2500 tahun sebelum Masehi. Gaza adalah lintasan antara Mesopotomia ke Mesir. Tembusan perdagangan yang melintasi berbagai budaya. Gaza juga disebut Gazzat Hasyim untuk menghormati kakek Rasulullah Hasyim bin Abdul Manaf yang tinggal dan wafat di Gaza. Di sini juga Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i lahir dan kemudian pindah ke Mekah setelah sang ayah wafat.

Menurut Asy-Syarq News, Gaza hanya seluas 365 Km2, bandingkan dengan luas Jakarta 661.5 Km2. Gaza hanya 1,33 persen dari luas tanah Palestina. Ada 2, 25 juta penduduk memadati Gaza. Kota memanjangi laut sepanjang 41 kilometer. Keindahan Gaza tak hanya ditulis dalam syair-syair kuno, tapi juga dilukis antara lain oleh Herry Fenn asal Inggris (1837 – 1911) dan David Roberts asal Skotlandia (1796 – 1814).
Kota Gaza yang pernah menjadi pelabuhan dagang terkemuka itu tak terbayangkan nasibnya sekarang. Hancur satu persatu seolah menunggu rata tanah dari tangan kasar Israel. Suara jeritan tertelan suara dentum meriam yang dimuntahkan tank-tank Markava yang congkak.

Sejak berdirinya Hamas tahun 1987 dan yang memunculkan gerakan intifadah membuat Perdana Menteri Yitzak Rabin hingga Banyamin Netanyahu bersumpah untuk menghancurkan Gaza. Mereka ingin kota itu luluh lantak tak berbekas karena menjadi duri dari ketenangan penduduk Israel (yang 20% berkebangsaan Arab). Tapi, Gaza semakin asyik dan mengundang penghuni baru. Dan Hamas semakin bersemai besar.
Dengan tiadanya listrik, bahan bakar dan air, kota ini lumpuh dan bahkan mati tanpa daya. Balasan tanpa arti dilontarkan ketika bom-bom Israel menyalak membumihanguskan semua yang ada. Ada 15.000 nyawa melayang syahid. Bom bom tak bermata membunuh hanguskan rumah sakit dan bahkan memburu mereka yang mengungsi. Gaza menjadi kota yang menakutkan. Ia tidak mati karena masih dinyalakkan mesiu lawan.

Baca Juga :  Selawat dalam Kuda Turki

Warga Israel selama ini tak pernah merasa tenang karena belum bisa damai dengan Palestina. Hidup tanpa perdamaian dengan tetangga membuat warga mereka hidup dalam kecemasan. Setiap hari dihantui kematian. Ketika Hamas mulai melontarkan serangan pada 7 Oktober lalu, banyak warga Israel yang mengungsi meninggalkan negerinya. Inflasi menajam yang berdampak tutupnya produksi, industri dan perdagangan. Harga meroket. Kantor dan sekolah tutup. Aktifitas juga ikut sepi, terutama ketiadaan turis yang selama ini menjadi tulang punggung Israel. Israel nyaris bangkrut untuk membiayai perang yang mencapai 250 juta USD sehari (CNBC).

Dunia bereaksi. Liga Arab, OKI dan PBB mengecam dan segera lakukan langkah kemanusiaan. Aksi boikot produksi Israel dan negara-negara pendukungnya bemunculan. Warga Israel sendiri mengecam pemerintah Netanyahu yang tak pernah kenal damai dan bahkan mengingkari perjanjian. Dikabarkan, banyak tantara yang desersi tak mau bergabung menyerang Gaza.

Ini bukan perang, tapi pembantaian. Palestina tidak kalah dan bahkan menumbuhkan simpati dunia. Sebaliknya Israel dan Yahudi menjadi sumber kecaman dunia. Gaza boleh punah, tapi juga akan diikuti punahnya peradaban dan reputasi Yahudi dan Israel di mata dunia. Berangsur nama besar dan keperkasaan Yahudi ikut tergerus bersama mengalirnya air mata dunia.

Layak mengenang syair Imam Syafi’i: “Wa inni lamusytaqun ila ardli Ghazzata, wain khanani ba’dat tafarruqi kitmani. Saqallahu ardlan law dzafirtu biturbiha, kahaltu bihi min syiddatis syawqi ajfani.” (Aku sangat merindukan Gaza meski keterasinganku tak pengaruh darinya. Semoga Allah menyirami bumi Gaza dalam tatapanku, lalu kuhias rinduku yang berat dalam kelopak mataku.) (MH).

Leave A Reply

Your email address will not be published.