RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Prof KH Ahmad Izzuddin menjelaskan bahwa sidang isbat yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menentukan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijah mewujudkan maslahat bagi masyarakat Indonesia.
“Jadi dengan adanya sidang isbat pemerintah kita sudah berupaya mengakomodir perbedaan dan metode penghitungan baik melalui hisab atau rukyat,” ujarnya dalam Bahtsul Masail Metode Penentuan Awal Bulan Hijriyah di Syahida Inn Ciputat, Tangerang Selatan pada Kamis (28/11/2024) malam.
Tak hanya menyatukan perbedaan, ketentuan dalam sidang isbat juga didesain mengikuti kriteria wujudul hilal MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). MABIMS menyepakati kriteria ketinggian minimal wujudul hilal 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat.
Ia juga menjelaskan diperlukan dasar prinsip yang kuat sebagai wilayatul hukmi (wilayah hukum diberlakukan) dalam penentuan awal bulan. Ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan landasan teori mathla’ (luas cakupan wilayah geografis keberlakuan rukyat).
“Membangun teori mathla’ harus mempertimbangkan kemaslahatan, keabsahan ibadahnya masih bisa terjangkau, dan ilmiahnya dapat dipertanggungjawabkan,” jelas Guru Besar Ilmu Falak UIN Walisongo itu.
Pandangannya tersebut dipaparkannya sebagai pijakan permasalahan tentang deskripsi wilayatul hukmi dalam geografi wilayah Republik Indonesia.
Menurut Kiai Izzuddin, hal ini diperlukan karena menyangkut keabsahan ibadah dan hajat umat. Gagasan mentransfer hasil rukyat negara lain lalu diterapkan di wilayah Indonesia tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
“Metode ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, keabsahan ibadahnya perlu dipertanyakan,” ujarnya.
Ia berkelakar, “kalau mau begitu, ayo kita ikuti waktu ibadah Mekkah saja. Jadi subuh kita jam 9 pagi.”
Kiai Izzuddin menegaskan bahwa tidak adanya kewajiban untuk menyatukan kalender Hijriah global.
“Tidak ada kewajiban melaksanakan Idulfitri dan melaksanakan puasa Ramadan pada satu tanggal yang sama di seluruh dunia,” ujarnya.
Menurutnya, kewajiban menjalankan ibadah puasa di suatu wilayah, yang dalam hal ini sangat krusial ditentukan dengan pemantauan hilal, adalah ketika sudah terdapat tanda hilal (bulan baru) tampak di wilayah tersebut.
Wilayatul hukmi yang telah berlaku di Indonesia saat ini adalah dari Sabang sampai Merauke. Dalam hal ini, Kiai Izzuddin berpendapat negara tetangga seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura masih bisa dianggap masuk ke dalam wilayatul hukmi Indonesia.
Pembahasan ini merupakan seri yang ke-11 dari rangkaian bahtsul masail metode penentuan awal bulan Hijriyah yang telah diselenggarakan PBNU sejak Juli 2024. Ibarat yang disampaikan para peserta dihimpun sebagai dasar penyusunan landasan penentuan awal bulan Hijriyah yang komprehensif. (Ekalavya).