Sebagaimana dijelaskan pada kajian sebelumnya, manusia merupakan makhluk Allah yang diciptakan dengan bentuk yang sempurna. Kesempurnaan itu terletak pada pada dua potensi yang diberikan kepadanya, yakni akal dan nafsu. Lewat anugerah akal, manusia menjadi makhluk yang paling mulia, di antara makhluk-makhluk lainnya, termasuk malaikat. Dengan nafsu, derajat manusia menjadi turun ke tempat yang hina, bahkan lebih lebih hina dari hewan. Karena itulah keimanan manusia bersifat fluktuatif, kadang bertambah dan kadangkala berkurang, sehingga mereka berpotensi untuk melakukan dosa. Dalam sebuah hadits, Rasulullah s.a.w. menegaskan bahwa setiap anak cucu Adam, pasti berbuat dosa, dan sebaik-baik manusia yang berbuat dosa adalah mereka yang bertaubat kepada Allah s.w.t..
Pada kajian ini, secara spesifik akan membahas adanya relasi yang kuat antara dosa yang dilakukan seorang hamba dengan aktivitas taubatnya kepada Allah s.w.t. yang Maha Pengampun. Di antara kekuasaan Allah s.w.t., adalah menjadikan tempat bagi orang yang sabar, tempat di mana rahmat, ampunan, dan syafaat itu tampak. Senada dengan itu, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kalian tidak pernah berbuat dosa, Allah akan menggantikan kalian dengan mendatangkan kaum yang berbuat dosa kemudian memohon ampun kepada Allah, maka Allah pun mengampuni mereka. (HR. Muslim, 4936). Dalam hadits lain, Rasulullah s.a.w. menegaskan: Syafaatku buat orang-orang yang berbuat dosa besar dari kalangan umatku. (HR. Abu Daud, 4739).
Hadits pertama di atas memberikan pemahaman bahwa secara kodrati, manusia itu makhluk yang rentan berbuat dosa, dan Allah s.w,t, memakluminya. Pemakluman itu dipertegas dengan narasi, jika seandainya tidak ada manusia yang berbuat dosa, niscaya ia akan menggantinya dengan manusia baru yang cenderung berbuat dosa, lalu memohon ampun kepada-Nya. Sedangkan hadits yang kedua menegaskan bahwa salah satu rahmat Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. berupa syafaat, tujuannya tidak lain diperuntukkan kepada manusia yang berbuat dosa, sekalipun dosa yang sangat besar.
Ada kisah menarik yang termaktub dalam kitab “Syarah al-Hikam li Ibni Abbâd al-Nafarî” yang kita kaji saat ini, bahwasanya pada suatu ketika datanglah seorang laki-laki kepada Syaikh Abu al-Hasan. Ia berkata kepadanya: “Wahai tuan, semalam di dekat kami terjadi perbuatan keji seperti ini dan ini”. Tampak dari raut wajah laki-laki itu keheranan atas kejadian itu. Syaikh Abu al-Hasan berkata: “Wahai saudaraku, dari raut wajahmu, engkau seakan-akan menginginkan agar tidak ada seorang pun yang bermaksiat kepada Allah di seluruh alam ini. Perlu diketahui, barang siapa yang menginginkan agar tidak ada seorang pun yang bermaksiat kepada Allah, maka pada hakikatnya ia telah menghendaki agar rahmat Allah tidak tampak dan syafaat Rasulullah tidak berlaku bagi umatnya. Berapa banyak orang yang berdosa dan berapa banyak orang yang melakukan maksiat dan pelanggaran, namun rahmat Allah tetap mengiringinya. Itu karena Dia Maha Penyayang yang menyayangi hamba-hamba yang pendosa sesuai dengan kadar imannya, meskipun yang bersangkutan mengetahui bahwa apa yang dilakukan itu perbuatan bermaksiat”.
Dari uraian sebagaimana disinggung di atas, paling tidak kita belajar bahwa ada beberapa poin yang patut dijadikan ibrah dan diambil hikmahnya. Pertama, Allah s.w.t. mempunyai rahmat yang sangat luas yang meliputi segala sesuatu, termasuk hamba-hamba-Nya yang berbuat dosa. Dengan rahmat itulah Dia selalu memberikan kesempatan bagi hamba-hamba-Nya untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya. Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah s.w.t berfirman: “Wahai anak Adam, sepanjang engkau memohon kepada-Ku dan berharap kepada-Ku akan Aku ampuni apa yang telah kamu lakukan. Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika dosa-dosamu setinggi awan di langit kemudian engkau meminta ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau datang membawa kesalahan sebesar dunia, kemudian engkau datang kepada-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sebesar itu pula”. (HR. Tirmidzi, 3463).
Kedua, Allah s.w.t. selalu membuka pintu taubat bagi selebar-lebarnya bagi seluruh hamba-Nya. Tidak ada dosa yang banyak yang tidak diampuni oleh Allah s.w.t.. Dia akan selalu mengampuni dosa-dosa hamba-Nya yang mau bertaubat. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa: 04:17). Dalam ayat lain juga ditegaskan: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang sungguh-sungguh). Mudah-mudahan Tuhanmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersamanya, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Wahai Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. At-Tahrim, 66:08).
Ketiga, Allah mencintai hamba-hamba-Nya melebihi cinta seorang ibu kepada anaknya. Di samping itu, Allah s.w.t. sangat dekat dengan hamba-hamba-Nya, Dia akan mengabulkan segala permintaan hamba-hamba-Nya yang memohon kepada-Nya. “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku”. (QS. Al-Baqarah, 02:186). Dalam sebuah hadits Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menyeru kepada Jibril: “Sesunggunya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia”. Maka Jibril pun mencintai orang tersebut, lalu Jibril menyeru kepada penghuni langit: “Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah fulan”, maka penduduk langit pun mencintai orang tersebut, hingga akhirnya ditetapkan bagi fulan untuk diterima di bumi”. (HR. Bukhari, 5580).
Walhasil, maka tidak patut bagi seorang hamba untuk membesar-besarkan dosanya sehingga membawanya kepada keputus-asa-an terhadap rahmat Allah s.w.t. serta terjerembab kepada prasangka buruk kepada-Nya. Karena itu, dalam rangka membuang keputus-asa-an dan perasangka buruk terhadap Allah s.w.t., hendaklah ia bertaubat dari dosa itu dan kembali kepada-Nya, serta meyakini bahwa ketika Dia menimpakan cobaan atau apapun, itu merupakan bentuk kepedulian Allah kepadanya. Ujian merupakan cara Allah untuk menilai apakah ia layak menjadi hamba-Nya yang mulia atau menjadi hamba-Nya yang hina. Karena itu Allah s.w.t. berfirman: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-Ankabut, 29:1-2).
Satu hal yang perlu kita waspadai bahwa sifat ujub itu dampaknya lebih berbahaya daripada perbuatan dosa itu sendiri. Dosa yang dilakukan oleh seorang mukmin mampu menjadi semacam penawar bagi sifat ujub atau kesombongan yang ada dalam dirinya. Ketika seseorang berbuat dosa, ia akan menyadari bahwa dirinya tidaklah sempurna dan masih membutuhkan ampunan Allah s.w.t.. Dalam hal ini, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Kalau bukan karena dosa itu lebih baik bagi seorang mukmin daripada ujub (bangga diri), niscaya Allah Ta’ala tidak akan pernah membiarkan seorang mukmin sendirian dengan suatu dosa”. (HR. al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus, dari jalur Ja’far al-Naqid dari Abu Hurairah).
Menurut hadits ini, dosa dapat menjadi penghalang bagi sifat ujub dan sombong. Sifat sombong yang menggerogoti manusia, merupakan penghalang utama antara dirinya dan Tuhannya. Hal itu terjadi karena orang yang memunyai sifat sombong cenderung hanya memusatkan perhatian pada dirinya sendiri, bukan pada Allah. Ia lebih mengagungkan ketaatan dan ibadahnya, merasa tenang tanpa rasa khawatir. Sebaliknya, perbuatan dosa melahirkan rasa takut dan waspada, membuat hamba hanya mencari perlindungan kepada Allah. Kesombongan menjauhkan hamba dari Allah, sementara dosa membawanya lebih dekat kepada-Nya. Dengan sifat sombong, seorang hamba akan terjebak dalam egonya, sedangkan dengan dosa, hamba akan merasakan kebutuhan akan Tuhannya. Karena itulah, sifat yang paling dicintai Allah adalah rasa butuh seorang hamba kepada-Nya. Keadaan batin yang paling mulia bagi seorang mukmin adalah ketika ia sepenuhnya menyerahkan semua hidupnya kepada Allah dan menggantungkan hidupnya kepada-Nya. Wallahu A’lam Bis Shawab.