Risalah NU Edisi 61

Rp15,000.00

Description

PUASA DAN LEBARAN CARA NU

Edsi 61 majalah Rislah NU kali ini, dalam laporan utamanya membahas masalah cara berpuasa dan lebaran ala NU. Mengapa?…karena beberapa kali NU melakukan rukyat menetapkan bulan puasa dan syawal, berbeda dengan ormas lain. Akan tetapi cara rukyat yang dilakukan NU selalu menjadi referensi pemerintah untuk menetapkan awal bulan. Trus cara merukyat NU bagaimana?…

Jawabannya, itulah karakter NU yang juga masih diyakini mayoritas umat Islam dunia dalam menentukan awal Ramadhan, Syawwal, dan Zulhijjah. Menurut KH Ghazalie Masroerie, Ketua Lanjah Falakiyah PBNU yang juga anggota Badan Hisab dan Rukyat Kementerian Agama RI, NU tidak ingin menyombongkan diri dengan mendahului kehendak Ilahi. Sebab, dalam sekian hitungan hisab itu selalu ada perbedaan hasil konjungsi dan posisi bulan. Lalu, mau dipakai yang mana? Nah, rukyatlah yang bisa menyatukan semua hasil hitungan itu. Pegangan NU itu hadis Rasulullah: “Berpuasalah setelah melihat bulan. Dan berlebaranlah setelah melihat bulan.” Dan ini difahami hingga kalangan ulama mutakhir bahwa konfirmasi dengan rukyat adalah hal yang tidak bisa dibantah. Bahkan, ulama Arab Saudi Syaikh Abdul Mohsen Al-Obaikan menyatakan hisab sebagai penentu awal bulan adalah bid’ah.

Namun, sekitar tahun 1950-an mulai masuk pandangan yang mengabaikan rukyat dengan memasukkan hisab sebagai instrumen tunggal. Maka mulailah sibuk pembahasan dan perdebatan sekitar persoalan itu. Muktamar NU ke-20 di Surabaya pada 10-15 Muharram 1374 atau 8-13 September 1954 menerima pertanyaan dari NU Cabang Banyuwangi tentang posisi hisab dalam memastikan masuknya awal bulan Ramadhan dan Syawwal. Jawaban hasil muktamar itu kemudian menjadi pedoman dan acuan setiap hasil muktamar berikutnya. Muktamar Situbondo tahun 1984, Muktamar Lirboyo 1999, dan juga sejumlah Munas Alim Ulama NU lainnya.

Jawaban muktamar itu menyatakan, “Mengabarkan tetapnya awal Ramadhan atau awal Syawwal dengan hisab itu tidak terdapat di waktu Rasulullah dan Khulafa Rashidin. Sedangkan orang yang membolehkan puasa dengan hisab adalah Imam Muththarrif, guru Imam Bukhari. Adapun mengumumkan tetapnya awal Ramadhan atau Syawwal berdasarkan hisab sebelum ada penetapan dari Departemen Agama, maka muktamar memutuskan tidak boleh, sebab untuk menolak kegoncangan dalam kalangan umat Islam, dan muktamar mengharap kepada pemerintah supaya melarangnya.” Rukyat menjadi sikap NU seterusnya. Dalam putusan muktamar ke-20 di Surabaya itu juga ia mengutip pendapat, jika terjadi pertentangan antara hisab dan rukyat, maka dipilih rukyat sebagai keputusan. Artinya, rukyat menjadi acuan utama.

Hero Banner 1080 X 400

Di sini juga dijelaskan domain pemerintah dalam menetapkan (itsbat). NU juga meminta pemerintah melarang pengumuman semacam itu. Namun, bukan berarti NU memusuhi hisab. Bahkan, sejak NU belum lahir para ulama Indonesia sudah akrab dengan ilmu hisab itu dengan mengajarkannya di pesantren dan madrasah. Banyak karya-karya hisab yang juga dilahirkan NU seperti KH Zubeir Salatiga, KH Ma’shum Aly Jombang, KH Thuraiychan Adjhuri Kudus, dan lain sebagainya. Ilmu hisab di mata NU tak lebih sebagai alat hitung untuk melihat bulan (rukyat).

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Risalah NU Edisi 61”

Your email address will not be published. Required fields are marked *