Risalah NU Edisi 72

Rp15,000.00

Description

RAME-RAME BENDUNG RADIKALISME

Risalah NU edisi 72 tahun 2018 dalam laporan utamanya membahas soal radikalisme dan terorisme. Sejak banyak kejadian pengemoban dan banyaknya teroris yang tertangkap.Belum lagi, paham radikalisme sudah masuk ke wilayah sekolahan-sekolahan. Atas dasar itulah, PBNU langsung bereaksi dan memerintahkan kepada seluruh jajarandan Banom, Lembaga dan Lajnah PBNU untuk menangkal gerakan radikalisme. Lalu sekenarionya bagaimana?….

Selain soal radikalisme, laporan utamanya juga membahas soal silat NU yaitu Pagar Nusa. Sejarah bela diri mungkin sama, setua sejarah manusia. Karena manusia memiliki naluri membela diri dan menyelamatkan diri dari marabahaya, maka di situlah ia muncul. Dari sana lahir gerakan untuk menyelamatkan diri dan membela diri, baik secara reflek atau yang kemudian dituangkan dalam rumus-rumus gerakan.

Pada zaman kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara, silat menjadi bekal keseharian siapa pun yang memasuki usia dewasa. Belajar silat dilakukan sejak kecil hingga ia mahir dan kemudian mandiri. Dari silat ini pula kemudian terbentuk pasukan atau militer tangguh. Karena silat juga melahirkan keberanian dan pengendalian emosi.

Di kalangan pesantren, alam persilatan juga bukan hal yang asing. Jika kita amati, persilatan shaolin yang muncul dari biara-biara Buddha di China, maka hampir sama tumbuh berkembangnya persilatan di Indonesia juga banyak dimotori oleh pesantren. Tahun-tahun 1940-an silat menjadi keharusan bagi santri disamping belajar ilmu. Karena santri harus berjuang melawan penjajah. Demikian juga pada tahun 1965 ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) merajalela, kembali pesantren memasukkan silat sebagai mata pelajaran ekstra kurikulum.

Maka, lahirlah kemudian GASMI (Gerakan Aksi Silat Muslimin Indonesia) yang berdiri di Pondok Pesantren Lirboyo pada tanggal 11 Januari 1966, di tangan KH Maksum Djauhari atau Gus Maksum. GASMI kemudian melebar ke mana-mana dan menjadi cabang silat sendiri yang mewarnai Nusantara.

Namun, untuk menjadi nasional, silat NU baru menunggu pertemuan di Pesantren Tebuireng pada 12 Muharram 1406 atau bertepatan dengan 27 September 1985. Pertemuan ini dihadiri beberapa pendekar antara lain: KH. Abdullah Maksum Jauhari Lirboyo, KH. Abdurahman Ustman Jombang, KH. Muhajir Kediri, H. Athoillah Surabaya, Drs.Lamro Azhari Ponorogo, Timbul Jaya Lumajang, KH. Ahmad Buchori Susanto, Prof. Dr. KH Suharbillah, SH. LLT, dan beberapa pendekar lainnya dari Cirebon, Kalimantan, Pasuruan dan Nganjuk.

Dengan didasari fatwa Ulama Tebuireng, KH. Syansuri Badawi yang menyatakan bahwa, ”Pencak Silat hukumnya boleh dipelajari asal dengan tujuan perjuangan”, maka dibentuklah kemudian wadah persilatan NU yang kemudian diberi nama Pagar Nusa. Hal itu terjadi setahun setelah reformasi NU yang memutuskan kembali ke Khittah 1926.

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “Risalah NU Edisi 72”

Your email address will not be published. Required fields are marked *