Oeh: Ali Fitriana Rahmat (Da’i Internasional)
Sore selepas Ashar berjamaah. Tetiba pintu kamarku diketuk dari luar. Masuklah seorang jamaah yang datang meminta pencerahan. Sakhowi namanya. Ia mengakui akan suatu hal yang sangat mengusik kepalanya. “Kenapa Allah swt menciptakan manusia yang nantinya akan Dia hisab dan minta pertanggungjawabannya?”, tanyanya penasaran.
Pertanyaan yang sangat filosofis. Aku kaget mendengar pertanyaannya. Out of the box. Sebab ku kira yang ditanya perihal problem fikih keseharian yang jamak dikonsultasikan. Awalnya ku jawab secara normatif sebagaimana Qs adz-Dzàriyat [51]: 56. Jawabanku tak memuaskannya. Akhirnya ku berikan jawaban analogi. “Seorang majikan memberikan uang sebagai bekal sehari-hari sekaligus mempersilahkan anak buahnya untuk tinggal di rumahnya yang tak didiami. Tapi ada peraturan yang harus diikuti. Baik perintah misalnya bersih-bersih rumah maupun larangan seperti menyentuh barang hiasan/lukisan. Kira-kira apakah sang majikan berhak untuk meminta pertanggungjawaban uang yang digunakan dan rumah yang didiami?”, tanyaku padanya. Ia mengangguk “Iya, berhak.” “Begitupun Allah sudah mempersilahkan kita tinggal di bumi-Nya dengan segala peraturan yang mengikat. Setiap dari kita dibekali rezeki. Tentu Allah berhak menghisab dan minta pertanggungjawaban makhluk-Nya”, tambahku.
Sakhowi pun mengangguk tanda paham. “Alhamdulillah akhirnya saya gak bingung lagi. Terima kasih ustadz penjelasannya”‘, tutup Sakhowi berterimakasih. Tak lama, ia pun pamit dari kamar tamu An-Nur Donggang.
Aku punya keinginan lebih mengenal wilayah Thongkang dan sekitarnya. Ku putuskan sore itu untuk jalan-jalan di sekitaran. Kebetulan saat kakiku memeluk sandalnya, Kang Salman bendahara Masjid Donggang datang menurunkan kawannya dari motor listrik dengan body Satria. Ia menawari untuk jalan-jalan mengelilingi pelabuhan. Gayung pun bersambut. Aku mengangguk, “Gass”, responku.
Aku dibonceng belakang oleh Kang Salman di atas motor listruk yang setiap seminggu sekali perlu di-charge. “Motor listrik ini lebih hemat, Gus. Tapi memang jangkauan dan pemakaiannya terbatas. Memang ku gunakan untuk mondar-mandir ke Masjid dan sekitaran Thongkang saja”, tukas Kang Salman.
Tak sampai lima menit, kami sudah berada di dermaga. Ratusan kapal nelayan berbaris rapi di tepian pelabuhan. Tak lupa ku abadikan momen berkeliling itu di HP bututku.
Penasaran muncul ketika aku melihat sejumlah warga Taiwan membakar sesuatu di bibir dermaga depan kapalnya. Lingkaran tong kecil dipenuhi api yang melahap habis setiap benda di atasnya. Satu per satu kertas berwarna kuning kecoklatan yang bergambar segala jenis rupa dengan warna merah, dijatuhkan ke dalam api yang menyala. Untuk memecahkan rasa penasaran, ku tanya Kang Salman.
“Jadi itu ritual pelaut lokal dilakukan sebelum berlayar enam bulan atau berbulan-bulan. Kadang juga harian juga sama. Cuman enggak sebanyak yang dibakar bulanan. Kadang teman-teman PMI juga yang disuruh bakar. Gambarnya macam-macam. Ada mobil, motor, sepeda, sisir, kaca, sendok alat rumah tangga, dll. Mereka berharap agar hasil lautnya bisa dibuat beli barang-barang tergambar di kertas itu, Ustadz. Itu semua dipersembahkan untuk kayak Dewi Kwan Im atau ke dewa laut yang patungnya serem wajahnya hitam kumisnya panjang”, jelas Kang Salman.
Jalan-jalan berlanjut. Ku sapa setiap PMI yang bertebaran di pelabuhan Thongkang. Ada yang masih bekerja memperbaiki jaring. Ada yang baru pulang. Ada yang hanya nongkrong ngabuburit. Barangkali jalan-jalan ini menjadi dakwah blusukan di Pelabuhan. Jika politikus saja rela blusukan untuk meraup suara. Masak iya, dai tak mau blusukan untuk menyapa umat Nabi Muhammad? Yang bener aja? Rugi dong!.
Sapaanku secara tidak langsung mengajak mereka untuk pergi ke masjid. Memang dakwah lebih efektif saat bisa bersentuhan langsung. Dakwah tidak melulu melalui mimbar. Bagiku dakwah _bil hàl_ juga bisa lebih mengena. Semoga kehadiranku bisa memberikan makna.
Menjelang berbuka saya dan para jamaah berkumpul di Aula Masjid. Kultum pun ku sampaikan. Ramadan punya banyak nama. Bulan puasa. Bulan penuh berkah. Bukan mulia dan lain sebagainya. Ada nama yang tak banyak orang menyebutnya. Ramadan bulan rahasia. Pertama, rahasia karena hanya puasa ibadah yang bisa dirahasiakan. Tak ada orang lain yang bisa melihatnya. Kedua, rahasia karena hanya Allah yang tahu betapa besar balasan orang berpuasa. Karena hanya puasa amal ibadah yang diperuntukkan untuk-Nya. Ketiga, rahasia karena ada malam lailatul kadar yang dirahasiakan malam Ramadan tanggal berapa.
Selepas tarawih dan witir berjamaah, Kang Umar, ketua PCINU Ranting Thongkang mengajakku pergi. Ia memboncengku menuju kantor FOSPI. Forum Silaturahim Pelaut Indonesia.
FOSPI dibentuk dalam rangka memayungi berbagai paguyuban kedaerahan yang tersebar se antero Thongkang. Sejarah berdirinya FOSPI beririsan dengan sejarah Masjid An-Nur. Dua saudara dari rahim yang sama, namun memiliki tugas berbeda. Masjid An-Nur dalam bidang keagamaan (dìniyyah). FOSPI dalam bidang sosial kemasyarakatan (ijtimà’iyyah). Sebagaimana ungkapan al-Ghazàli (w. 505 H), _ad-dìn wa al-Mulk tauamàn_. Keduanya harus saling melengkapi bukan membatasi.
Aku disambut langsung oleh Pak Mudzakir, Ketua FOSPI. Sebenarnya ia sedang sibuk menerima telpon yang berisi percakapan tentang mediasi. Memang salah satu tugas utama FOSPI adalah menjadi mediator keributan maupun konflik PMI di Thongkang dan sekitarnya.
FOSPI membawahi 12 paguyuban kedaerahan para pelaut yang berasal dari Indonesia. Dua belas wilayah itu antara lain: Batang, Brebes, Cilacap, Cilacap, Cirebon, Indramayu, Semarang, Suradadi, Tegas (Tegal Asosiasi), PPI (Pemalang), Slawi, Kampoa (warga pelabuhan Kampoa), dan KKSB (Kerukunan Kitorang Semua Bersaudara) yang menaungi PMI asal luar Jawa.
“Ribut-ribut di pelabuhan kudu dimediasi. Terus bawa-bawa daerah kabupaten antar organisasi atau antar suku jadi pun terjadi kerusuhan antar PMI niku membawa rasisme jadi antar suku daerah kabupaten ngomong Brebes Oh karo wong batang misalkan diantisipasi makane wonten pos peringatan niki,” jelas Pak Mudzakir.
“Kadang keributan jam 2 harus bangun. Datangi lokasi yang lagi konflik. Lagi gelut”, tambahnya.
“Niku pahalane agung. Bahkan salah satu mustahik zakat adalah orang berhutang dalam rangka mendamaikan dua pihak yang bertikai”, sahutku.
Tidak hanya memediasi konflik. Ormas ini juga memberikan advokasi dan pendampingan bagi PMI di pelabuhan Thongkang yang sedang bermasalah. Baik dengan majikan maupun dengan pemerintah. Bahkan tak jarang melakukan pendampingan bagi PMI yang terjerat hukum. Selain itu data PMI yang mengalami kecelakaan kerja maupun gugur dalam bertugas juga tercatat rapi di kantor itu.
Di akhir obrolan, Pak Mudzakir menyampaikam “Mohon doa Gus. Kami sedang mempunyai proyek besar. Kami mengkampanyekan wifi untuk dipasang di setiap kapal yang berlayar. Ini sebagai antisipasi dampak buruk terputusnya komunikasi ABK dengan keluarga. Angka perceraian dan perselingkuhan rumah tangga ABK cukup tinggi karena lost kontak yang begitu lama di laut.
Menurutku, FOSPI merupakan kepanjangan tangan dari KDEI bahkan kementerian Tenaga Kerja. Sebab mereka berdiri di garda terdepan dalam penanganan masalah PMI.
_Nawaitu_ kedatanganku ke FOSPI adalah silaturahim sekaligus berdakwah. Bagiku, pemangku kebijakan juga perlu menjadi objek dakwah. Kunjunganku memberikan support para aktor kemanusiaan.Toh, kemanusiaan sangat beririsan dengan keagamaan. Sebagaimana tulisan Habib Ali al-Jufri, _Al-Insàniyyatu Qabla at-Tadayyun_, kemanusiaan sebelum keberagamaan. []
Donggang, Selasa
19 Maret 2024 M
9 Ramadan 1445 H